Buku Bacaan Anak: Misteri Candi Lohjinawi
Naskah
Buku Bacaan Anak
Misteri
Candi Lohjinawi
Bagian
1.
Pengamen
Tua
Untuk ke sekian kalinya bus
yang telah penuh penumpang dan barang itu berhenti. Kata orang, begitulah
keadaan bus menjelang dan di awal libur sekolah. Bus memanfaatkan keadaan itu
dengan ‘aji mumpung,’ mumpung banyak penumpang.
“Ayo, maju Pak, maju Bu,
maju Mas!” teriak kernek bus dari pintu belakang.
“Pak berbaju batik coklat,
tolong bergeser ke belakang. Mbak, tolong bergeser ke belakang!” perintah
kondektur.
“Loh, gimana ta ini, dari
belakang disuruh ke depan, penumpang depan disuruh ke belakang. Sudah penuh
gini lo, Mas!” kata seorang lelaki kurus berseragam safari abu-abu seperti
guru.
“Gak apa, Pak yang penting
bisa naik bus dan segera sampai tujuan,” sambut seorang ibu gemuk bulat yang
berdiri di sampingnya. Saat itu melalui pintu bus bagian depan ada lima orang
penumpang baru berdesak naik bus. Seorang di antara mereka seorang lelaki kurus
berdandanan aneh seperti badut. Ternyata ia seorang pengamen jalanan.
“Salamulaikum Bapak, Ibu,
Mas, Mbak, dan semua penumpang. Ijinkan saya mengganggu sebentar. Perkenalkan
nama saya Pak Jomino asal Desa Lohjinawi untuk memberikan hiburan dengan
berkisah. Kisah ini kisah tempo dulu atau kuno yang kemungkinan sudah dilupakan
banyak orang,” kata Pak Jomino sambil memutar topi blangkonnya, terbalik. Ia
pun nampak semakin lucu.
“Neng-nong-neng-gung.
Neng-nong-neng-gung…,” kata Pak Jomino menirukan nada gamelan mengiringi ceritanya.
Tersebutlah Ratu Ayu Kencanawungu, Ratu Majapahit yang sedang sedih. Ia sedih
memikirkan ancaman dari Sang Urubismo atau Menakjinggo Adipati Blambangan.
“Oelalalaaa, Ratu Wunguuuu,
kau itu hanya seorang wanita lemah, gak pantas jadi raja. Jadilah kau sebagai
permaisuriku, pendamping hidupku, akan kumuliakan hidupmu. Akan kupenuhi apa
pun yang kau minta, asalkan tidak minta turunya bintang dan bulan. ini
pinanganku, terimalah! Tapi bila kau tolak, maka sebagai gantinya serahkanlah takhta
Majapahit kepadaku.
Bila tawaranku itu kau
tolak pula, wo-wo-wooo, jangan tanya siapa saya! Lihatlah murkakuuuu! Bumi
Wilwatikta akan kujadikan lautan api. Uih-uih-uih Wunguuu, lihatlah para dutamu
seperti Menak Koncar dan Ranggalawe Tuban. Mereka telah kukalahkan. Mereka
telah kubinasakan dengan senjataku gada besi kuning. Oela-la-laaa, Ratu Wunguuu
menyerahlah!” kata Pak Jomino menirukan dialek bicara dan gerak-gerik
Menakjinggo seperti orang timpang.
“Neng-nong-neng-gung,
neng-nong-neng-gung, Duh Dewa bagaimana ini? Apa yang bisa saya lakukan?” kata
hati Ratu Kencanawungu dengan sedih. Neng-nong-ning-gung, pada suatu malam
bulan purnama Ratu Kencanawungu bersemidi hingga tertidur duduk. Dalam tidurnya
Ratu Ayu menerima suatu bisikan, agar ia mencari seorang pemuda asal Kampung
Paluhamba bernama Damarwulan. Dari mimpi itu Ratu Kencanawungu percaya, bahwa
pemuda kampung itulah yang akan menjadi jago Majapahit. Pemuda itulah yang bisa
mengatasi pemberontakan Menakjinggo. Ratu Ayu pun kemudian memerintahkan kepada
patihnya, yaitu Loh Gender untuk menemukan Damarwulan.
Beberapa hari kemudian
Patih Loh Gender pun kembali menghadap Ratu Ayu dengan membawa jagonya, namun
bukan Damarwulan, melainkan Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua pemuda itu
adalah anak dari Patih Lohgender sendiri.
“Loh-loh-loh, bagaimana
Patih Loh Gender ini? disuruh mencari Damarwulan, kok orang lain yang dibawa.
Apa sih maunya sang patih ini? Apa Ratu Kencanawungu mau menerimanya? Lalu
bagaimana dengan Damarwulan? Jawabannya...., he-he-he-he kapan-kapan saja,
sebab Terminal Tawangsari sudah hampir sampai, kecuali bila mau nanggap saya,
he-he-he-he,” kata Pak Jomino sambil terkekeh.
Lelaki tua itu melepas
blangkonnya dan selanjutnya menyodorkannya ke para penumpang dari dereten depan
ke belakang. Rian yang duduk di kursi deretan tengah memberinya lima ribu
rupiah.
“Kok banyak banget, Nak?”
kata Pak Jomino.
“Tidak apa, Pak,” jawab Rian
sambil tersenyum.
“Aduh, terima kasih, ya
Nak,” kata Pak Jomino pula. Rian tersenyum.
Tiada beberapa lama
kemudian Pak Jomino telah berdiri kembali di dekat tempat duduk Rian.
“Rokoknya, Mas! Berjubel
begini, kok ya masih nekat nyepur. Mengganggu orang banyak!” undat seorang
wanita gendut kepada si perokok, seorang pemuda berjaket levis biru kusam.
Mendengar undatan itu Pak Jomino tertawa, sedangkan si pemuda cuma menyeringai,
tidak menanggapinya.
“Dapat banyak, Pak?” tanya
pemuda itu ke Pak Jomino.
“Akh, ya gini ini Mas.
Banyak penumpang belum tentu banyak rejeki, nyatanya ini, cuma dapat Rp. 9.100.
Ini, yang lima ribu saja dikasih oleh Nak ini,” jawab Pak Jomino sambil menoleh
ke Rian.
“Namanya cari rejeki, ya
harus sabar, Pak,” timpal seorang ibu.
“Yah, namanya kerja Bu,
seberapa pun yang diperoleh tetap aku sukuri,” jawab Pak Jomino yang lalu
melihat ke Rian.
“Mau ke mana, Nak?” tanya
kepada Rian.
“Ke Desa Lohjinawi, Pak,”
“Ooo, ya. Bapak ini juga
orang Lohjinawi, lo. Apakah di sana ada keluarga, Nak?” tanya Pak Jomino.
“Ada, seorang paman, Pak,”
jawab Rian.
“Siapa? bapak ini hampir
kenal dengan semua nama penduduknya, kecuali untuk yang masih anak-anak seperti
kamu.”
“Pamanku bernama Pak
Santosa, seorang guru SD Pak,” jawab Rian.
“Ooo, Pak Santosa Guru!
Bapak sangat kenal dengannya. Ia orang terhormat, berpendidikan, dan merakyat!
Aku pernah beberapa kali ke rumahnya,” kata Pak Jomino. Tiada berapa lama
kemudian, bus memasuki Terminal Tawangsari. Rian dan Pak Jomino pun turun.
“Apakah Bapak akan ke
Lohjinawi?” tanya Rian sambil duduk di kursi kayu jati di ruang tunggu
penumpang. Pak Jomino bergeleng.
“Belum, Nak. Bapak harus
kembali naik bus yang menuju ke arah lain. Hal itu harus bapak lakukan
berulang-ulang dalam satu atau dua minggu atau sampai satu bulan,” jawab Pak
Jomino. Jawaban orang tua berdandan pipih itu mengherankan Rian. Melihat
pandangan Rian, Pak Jomino itupun menarik napas dan kemudian bercerita, bahwa
ia tengah berupaya mengumpulkan uang untuk bisa menebus kelahiran cucu
pertamanya yang sampai saat ini masih ada di rumah sakit Tawangsari.
“Maaf, apa Pak Jomino atau
putra bapak tidak memiliki kartu askes?” tanya Rian. Pak Jomino bergeleng.
“Bapak tak tahu apa itu
askes. bapak ini wong cilik, Nak. Bapak tidak memiliki apa-apa, selain gubuk
kecil di balik rumpun bambu di tepi sungai dan beberapa kisah kuno, diantaranya tentang Damarwulan
yang bapak gunakan ngamen sebagai pekerjaan,” jawab Pak Jomino yang kemudian
menyampaikan salam seperti waktu di atas bus.
“Tapi, maaf Pak…” sela Rian.
“Tapi…., ada apa?” tanya
Pak Jomino dengan mimik lucu.
“Cerita Damarwulan yang
Bapak sampaikan gak tuntas. Apa selalu begitu?”
“Yah terpaksa, sebab
waktunya memang pendek. Bapak harus pindah-pindah bus,” jawab Pak Jamino.
Selanjutnya ia menawarkan akan bercerita tentang Damarwulan secara lengkap,
asal Rian mau dolan ke rumahnya.
“Nah, salamualaikum,
sampaikan salam hormatku pada Pak Santosa ya, Nak!” kata Pak Jomino yang
kemudian berlari-lari kecil memburu bus yang baru ke luar dari terminal
Tawangsari. Rian menarik napas. Ia pun kemudian menuju ke warung soto babat di
pojok terminal untuk makan.
***
Bagian
2.
Tukang
Ojek
Siang itu langit berwarna
kelabu, tanda kemungkinan turun hujan. Letak Desa Lohjinawi yang akan dituju
Rian masih cukup jauh. Desa itu masih berjarak sekitar 20 km dari Terminal
Tawangsari. Untuk ke sana ada dua pilihan, yaitu naik angkutan pedesaan yang
biasa disebut angdes dan naik ojek.
Bila naik angdes biaya
lebih murah, namun harus tahan dengan kesabaran, sebab angdes baru berangkat
bila sudah penuh dengan penumpang dan barang. Untuk menunggu hal itu bisa
memakan waktu 1, 2, dan 3 jam, bahkan mungkin juga bisa batal tidak berangkat,
disebabkan tidak adanya atau kurangnya penumpang.
Setelah mendapatkan
keterangan tentang tarif naik ojek dari Tawangsari ke Desa Lohjinawi dari orang
yang memiliki warung soto babat, Rian memutuskan naik ojek.
“Baiklah, Dik mari
kuantarkan,” kata tukang ojek setelah tawar menawar tarif dengan Rian.
“Wah helemnya agak
kebesaran ya? Maklum, baru kali ini saya dapat penumpang anak-anak,” kata
tukang ojek yang kemudian meletakkan tas bawaan Rian di atas tangki sepeda
motor.
“Tasnya berat juga ya, apa
saja isinya?” celetuk tukang ojek.
“Pakaian, buku, dan
majalah, Om!” kata Rian. Tiba-tiba tukang ojek menengok ke Rian yang duduk di
belakangnya.
“Kau panggil aku om, apa
aku ini sudah nampak om-om?” tanya tukang ojek yang kemudian tersenyum.
“Oh sori, Mas, kukira sudah
om-om!” jawab Rian tersipu. Tukang ojek itu ternyata masih seperti pemuda
lulusan SMA.
“Oh iya, sebelum jalan, ada
hal yang kita perlukan, yaitu berkenalan dan berdoa. Kenalkan dulu, aku Rama!”
“Aku Rian!”
“Nah mari berdoa, agar
perjalanan kita lancar dan selamat!” katanya. Rian tersenyum tersendat, sebab
hampir terpingkal. Ajakan berdoa saat akan naik sepeda motor dari tukang ojek
bernama Rama itu bagi Rian tak lazim, cukup menggelikan.
“Eh, kok senyum gitu, Dik?
Walau hanya naik ojek, apa aneh bila berdoa dahulu? Ingat lo, Dik berdoa itu
juga mengingat kebesaran dan kuasa Gusti Allah. Allah bersabda, agar kita
selalu mengingat kebesaran dan kuasanya dikala kita tidur dan terjaga. Eh kok
ceramah nih, sori Dik! ” kata tukang ojek yang kemudian menstater sepeda
motornya.
Sesaat kemudian, Rian dan
tukang ojek pun telah meninggalkan Terminal Tawangsari. Seiring itu pula turunlah
hujan rintik-rintik. Suatu keanehan alam. Siapa yang bisa menentukan secara
tepat terhadap perubahan alam? Ketika Terminal Tawangsari diguyur hujan,
ternyata daerah lain yang hanya berjarak 600 meter dari terminal terang
benderang. Gumpalan-gumpalan awan putih dan sebagian lagi berwarna kehitaman
masih nampak kontras dengan langit biru.
Lebih dari 15 kilometer
kemudian, sepeda motor Rama yang membonceng Rian telah menelusuri jalan
pedesaan di kaki bukit yang menghijau.
“Kita istirahat dulu, aku
haus Dik!” teriak tukang ojek dari balik helemnya. Ia pun kemudian menghentikan
sepeda motornya di depan sebuah warung di pojok jalan desa.
“Minum dawet dulu. Dawet
dari Desa Wukirtawu ini terkenal enaknya lo, Dik!” kata tukang ojek. Tanpa
komentar Rian pun ikut memasuki warung dawet.
Warung kecil yang terbuat
dari bambu dengan atap ijuk hitam itu hanya berukuran sekitar 3x4 meter, namun
tertata apik dan cukup asri. Lebih asri lagi bila dari warung itu orang mau menyempatkan diri
melihat ke arah selatan. Di sana terpampang pesona lukisan alam berupa bukit
dan gunung. Di daerah sana itulah letak Desa Lohjinawi.
“Na.., Iyakan...?” sapa
seorang anak perempuan seusia Rian kepada tukang ojek dari pintu warung.
“Apanya yang iya?” tanya
tukang ojek ketika memasuki warung.
“Ya, tebakanku tepat, dari
suara motornya aku tahu, bahwa yang datang kupastikan Mas Rama,” jawab anak
perempuan. Tukang ojek yang disapa Rama tersebut memperhatikan anak perempuan
di depannya yang senyam-senyum memperlihatkan dua lesung pipit di pipinya.
“Loh kamu ini Dekik, ya?
Aduh-aduh sudah besar dan tambah cantik saja adikku ini. Eh.., kamu gak sekolah
ya?” gurau tukang ojek.
“Kan libur, Mas?”
“Oh, iya! E.. mana ibumu?”
“Memanen padi di sawahnya
Pak Kyai, Mas!”
“Lo, lalu yang jual
dawetnya siapa?”
“Aku!”
“Ah yang benar?
Jangan-jangan rasa dawetnya nanti pahit?”
“Kalau gak enak, gak usah
dibayar, Mas!”
Rama tertawa, Rian pun ikut
tersenyum. Rama memesan dua mangkuk dawet. Dengan cekatan Dekik melayaninya.
“Up, segar! Gimana Dik
Rian, enakkan dawetnya?” tanya Rama. Rian mengangguk dan tersenyum.
“Itu.., Adikmu ya, Mas? Kok
gak dikenalkan aku?” tanya Dekik.
“Bukan, ia penumpang
ojekku. E.., Dik Rian mau gak kenalan dengan dia?” kata Rama kepada Rian. Rian
tersenyum. Ia berdiri dan kemudian menyalami Dekik.
“Derian Sastra Negara” kata
Rian
“Dyah Raina” kata Dekik.
“Gimana, dawetnya tambah ya
Dik?” tanya Rama. Rian mengangguk. Ia baru ini kali minum dawet. Ternyata rasanya manis lezat.
“Akan lebih nikmat bila
pakai es, Mas,” kata Dekik.
“Loh, kok gak bilang tadi?”
“Kalau dawet pertama sudah
pakai es, kecenderungan pembeli gak imbuh, Mas!”
“Wah, kecil-kecil kamu
pintar bisnis, Kik!” seru Rama disela tawanya.
Selama di warung dawet itu,
Rian telah merasa bersahabat dengan Dyah Raina yang biasa dipanggil dengan
Dekik. Kepada Dekik, Rian mengatakan, kalau ia berasal dari kota. Ia pun baru
kelas 5 SD sama dengan Dekik. Pada liburan sekolah ini, ia akan berlibur di
rumah pamannya di Desa Lohjinawi.
“Wah.. ke desa musuh
bebuyutan, nih!” seru Dekik tiba-tiba.
“Apa? desa musuh bebuyutan?
Maksudmu warga Desa Wukirtawu ini bermusuhan dengan warga Desa Lohjinawi
begitukah? Akh jangan mengada-ada, Kik!”
seru Rama. Dekik tertawa.
“Saya nggak ngada-ada,
Mas!” jawab Dekik.
“Wah-wah, apa masalahnya?
Apa sengketa masalah rumput atau pohon pisang di perbatasan desa atau… soal
senggolan saat joget dangdutan..,” tanya Rama.
“Wah-wah, bukan itu
maksudnya, Mas. Musuh bebuyutan yang kumaksudkan ialah dalam pertandingan sepak
bola dan kasti antar sekolah dasar tingkat Kecamatan Poncokusumo!” kata Dekik.
“Oh, gitu…, kukira
sungguhan,” gerutu Rama.
Tanpa diminta, Dekik pun
bercerita, bahwa hampir tiap tahun, kejuaraan ke dua cabang olahraga itu selalu
diperebutkan antara SD Wukirtawu dengan SD Lohjinawi.
“Untuk tahun ini, sekolahku
berhasil mempertahankan kasti putri. Juara satu kasti putra diraih oleh SD
Poncokusumo 1 dan sepak bola dimenangkan oleh SD Lohjinawi,” kata Dekik.
“Apakah kau ikut main kasti
itu?” tanya Rama. Dekik tertawa. Tiba-tiba ia berlari ke rumahnya. Tiada berapa
lama kemudian ia telah kembali di warung dengan membawa selembar foto
berbingkai bekas sampul buku. Foto itu diberikannya ke Rama. Dalam foto itu nampak
Dekik, beberapa temannya berseragam olahraga, dan sebuah piala.
“Wah, hebat kamu, Kik. La,
wanita yang gemuk dekat kamu ini tentulah temanmu yang bertugas menjadi stoper
handal, siapakah dia? Apakah ia juga pemain kasti?” tanya Rama sambil
tersenyum-senyum menggoda. Dekik dan Rian penasaran. Mereka pun kemudian lebih
mendekat ke Rama.
“Wo, dia kepala sekolahku,
Mas!” teriak Dekik, kedua tangannya memukuli bahu Rama.
“Mas, kasti itu olahraga apa?” tanya Rian kepada Rama.
“Loh, kok gak tahu! Apa di
sekolahmu gak ada kasti?” tanya Dekik.
Rian menggelengkan kepala.
“Di kota itu gak ada kasti.
Olahraga kasti dan gobak sodor itu hanya
ada di daerah-daerah tertentu, terutama di desa, Kik!” jawab Rama.
“O, makanya Rian gak tahu.
Wah eman ya, gak merasakan rasa tegang dan asiknya olahraga itu!” kata Dekik.
“Dan juga gak merasakan
nikmatnya kena gebuk bola kasti!” timpal Rama. Dekik tertawa memperlihatkan
deretan giginya yang putih.
“Olahraga kasti hampir
menyerupai Base Ball ataupun Soft Ball.
Olahraga ini sangat terkenal di tahun 1960-1980 an. Bahkan saat itu semua
sekolah, terutama SD seperti wajib berolahraga kasti!” kata Rama kepada Rian.
“Loh, Mas Rama, ta ini!”
sapa seorang wanita yang baru muncul
dari pintu warung bagian samping.
“Oh, Bulik Suri, dari
sawah, ya?” kata Rama.
“Iya, ikut buruh panen di
sawah Pak Kyai. Kik, kok Masmu Rama gak kamu buatkan dawet?”
“Sudah, bahkan sudah habis
dua mangkok, Bu!” jawab Dekik.
“Gimana? dawetnya tambah,
ya Mas?” tanya Bu Suri.
“Sudah, terima kasih Bulik.
Saya harus segera mengantar Dik Rian ini ke rumah pamannya di Lohjinawi!” jawab
Rama. Wanita itu tersenyum.
“Sekitar 3 bulan yang lalu,
Dhemes dolan di sini selama 3 hari. Ia sempat nanyakan keadaanmu!” kata Suri
sambil mencuci gelas.
“Aku di kota provinsi Bulik.
Bagaimanakah keadaan Dhemes dan keluarganya? Sehatkan mereka?” tanya Rama.
“Ia telah meninggal dunia,
sebulan yang lalu!”
“Oh, ya, Gusti!” seru Rama
dengan suara tersendat. Rian yang duduk di sampingnya melihat tukang ojek itu menoleh
kea rah lain, memandang jauh ke luar. Entah apa yang dilihatnya. Entah apa pula
yang ia pikir dan ia rasakan.
Matahari saat itu telah
berada di sebelah barat. Rama dan Rian telah meninggalkan warung dawet dan Desa
Wukirtawu. Kini, sepeda motor mereka telah menelusuri jalan Desa Lohjinawi.
Dari suatu jalan yang membelah bentangan sawah, Rian melihat suatu bangunan candi
berwarna hitam di ujung batas sawah. Bentuk candi itu mirip dengan candi-candi
Prambanan, tidaklah terlalu besar, namun nampak indah.
Selama dalam perjalanan dan
diantara deru sepeda motor, Rian sempat mendengarkan cerita Rama, tukang ojek.
Ternyata Rama itu seorang sarjana. Ia seorang dokter hewan.
”Gelar sarjana yang
kusandang ini, Dik.., sebenarnya tidak sesuai dengan nuraniku pribadi. Aku
menyandang titel dokter ini hanya karena
memenuhi permintaan ibuku. Ibuku minta aku menjadi dokter dan melarangku
bergaul akrab dengan Dhemes, adik kelasku saat di SMA,” kata Rama.
“Itukan permintaan yang
baik dari seorang ibu, Mas. Bisa menolang orang sakit,” kata Rian. Mendengar
perkataan Rian tersebut tiba-tiba Rama tertawa, tetapi tawanya bernada sinis.
“Menolong orang sakit?
Terus dokter memberi obat atau resep, terus orang yang sakit membayar. Dengan
demikian, bila banyak orang yang sakit berarti banyak orang yang membayar,
berarti sang dokter cepat kaya! Itulah yang dikehendaki ibuku!” seru Rama.
“Permintaan ibu kupenuhi,
walau tidak sepenuhnya sesuai dengan harapannya. Aku memilih jadi dokter hewan,
bukan dokter orang. Demikian pula ketika ibu meminta memutuskan hubunganku
dengan Dhemes, itupun kupenuhi,” kata
Rama.
“Demes… yang disebutkan
oleh Bu Suri bakul dawetkah maksud Mas Rama,” Tanya Rian.
“Ya. Jujur aku mencintai
Dhemes. Ia cantik, santun, dan cerdas. Sayang ibu tak menyukainya, karena Dhemes
anak buruh tani, asal kampung, dan hanya tamatan SMP. Akh, inilah perjalanan hidup. Benar juga bila
orang mengatakan hidup ini tiada bedanya dengan ‘sandiwara dan mampir minum.’
Sekitar setahun yang lalu
kudengar Dhemes menikah, hari ini kudengar dari Bulik Suri kalau ia telah
meninggal dunia. Ia meninggal sekitar sebulan yang lalu. Ya Allah, ya Rabbi,
Engkau jualah yang mengaturnya,” kata Rama perlahan.
***
Bagian
3.
Candi
Loh Jinawi
Pada hari pertama berada di
Desa Lohjinawi, Rian diajak Ari berjalan-jalan keliling desa. Rian pun
diperkenalkannya kepada teman-temannya seperti Budi, Agung, Yatim, Ribut, Niko,
Sari, Narti, dan lainnya.
"Yatim itu adalah
bintang kelas 5. la tidak mempunyai ayah. Ayahnya telah meninggal dunia ketika
ia masih di dalam kandungan ibunya. la itu anak asuh dari Pak Lurah," kata
Ari saat berjalan menelusuri jalan setapak yang ada di sepanjang pinggir Sungai
Nagasari. Mereka pun sampai di gubuk yang berada di bawah pohon mangga kueni.
Di tempat yang rindang tersebut Rian dan Ari beristirahat.
"Rumah apakah
ini?" tanya Rian sambil mengamati bangunan yang dibuat dari bambu,
beratapkan batang padi kering, dan tanpa dinding tersebut. Ari tersenyum.
Baginya, pertanyaan Rian tersebut cukup lucu dan menggelikannya.
"Bangunan ini bukan
rumah untuk tempat tinggal. Di sini bangunan ini disebut gubuk tani. Rumah ini
hanya untuk tempat istirahat sementara bagi pemilik sawah. Dari sini pula
mereka mengusir burung pipit dan burung-burung lainnya yang makan tanaman padinya!"
jawab Ari. Ia kemudian melepas tali-tali yang terikat pada tiang gubuk yang
disandarinya. Tali-tali tersebut selanjutnya ditarik-tariknya. Seketika itu
pula orang-orangan yang ada di tengah sawah bergerak-gerak dan mengeluarkan
suara kaleng yang riuh. Seketika itu pula burung-burung pipit pun beterbangan,
berhamburan.
Rian tersenyum. la pun
mencoba menirukan perbuatan Ari mengusir burung. Burung-burung pipit pun
beterbangan, namun burung-burung itu segera datang ke sawah lagi. Rian
mengusirnya kembali, burung-burung itu pun terbang pergi.
“Nah, pergilah!" desah
Rian puas. Namun ternyata burung-burung itu hanya rnenghindar sebentar. Tiada
berapa lama kemudian mereka telah kembali lagi menyerbu tanaman padi. Rian
bergeleng-geleng sebagai rasa kesal hati, sedangkan Ari tertawa.
"Burung-burung itu
ternyata semakin canggih! Mereka semakin mengerti kalau alat pengusir burung
ini hanya sekadar gertakan belaka. Karena itu mereka tetap berani datang
lagi!" ujar Ari.
“Burung-burung itu belajar
dari pengalaman. Dari pengalaman itu pengertiannya bertambah. Dengan pengertian
yang bertambah mereka memiliki keberanian!" kata Rian.
Rian melihat ke arah timur.
Di sana dilihatnya sebuah bangunan candi yang pernah dilihatnya ketika
berbonceng di sepeda motor Rama, tukang ojek. Bangunan yang bentuknya mirip
candi Prambanan tersebut nampak begitu anggun indah. Karena Rian melihatnya
dari tempat yang dibatasi oleh hamparan tanaman padi yang saat itu sedang
menguning, maka candi tersebut seakan-akan berlantaikan hamparan perma-dani
warna kuning.
"Candikah itu?"
tanya Rian.
"Ya. Candi Loh
namanya. Nama Desa Lohjinawi berasal dari nama candi tersebut!" jawab Ari.
Kemudian Ari berkisah, warga Desa
Lohjinawi memiliki kepercayaan bahwa kesuburan tanah dan melimpahnya hasil
tanaman padi para petani di Desa Lohjinawi karena keadilan Gusti melalui Dewi
Sri dan Raden Sadana.
Warga desa mempercayai, bahwa
Dewi Sri dan Raden Sadana itu adalah dewa dan dewi padi, dewa-dewinya para
petani. Karena itu pula, setiap petani yang akan memanen padinya selalu diawali
dengan mengadakan sesaji atau kenduri sebagai rasa penghormatan kepada Dewi Sri
dan Raden Sadana di candi tersebut. Selain mengadakan kenduri di Candi Loh ada
juga penduduk desa yang meramaikannya dengan menanggap wayang kulit dengan
cerita Sri Sadana.
"Penduduk sini pada
umumnya menanggap wayang kulit dengan Pak Kromo sebagai dalangnya! Sebentar lagi
akan musim panen, berarti musim makanan gratis akan datang juga!" kata
Ari.
"Bagaimanakah kisah
Sri Sadana itu?" tanya Rian.
"Wou, ceritanya sangat
menarik. Bila ingin tahu ceritanya kau nanti saya ajak menemui Pak Kromo dalang
di rumahnya!" jawab Ari.
Dari gubuk tani tersebut
Rian menyaksikan sebagian keadaan Desa Lohjinawi. Desa Lohjinawi merupakan
sebuah desa yang cukup indah, namun agak terpencil letaknya. Azan duhur yang
disuarakan seorang bocah terdengar mengalun. Suaranya merdu meliuk-liuk menelusuri
alam Desa Lohjinawi.
"Itu suara Yatim. Yuk,
pulang!" ajak Ari kepada Rian. Ari dan Rian bergegas pulang. Mereka
berjalan memintas pematang sawah. Ketika sampai di surau desa mereka melihat
Yatim sedang membaca buku di teras surau. Ari mengajak Rian menemui Yatim.
"Hei, kalian dari
mana?" tanya Yatim mendahului.
"Dari sawah!"
jawab Ari. Rian tersenyum dan kemudian duduk di samping Yatim.
"Suaramu tadi
terdengar sampai ke sawah sana. Suaramu bagus, Tim!" puji Rian. Yatim
tersenyum.
“Pujianmu berlebihan,
An!" ujar Yatim.
"Ya, ampun!
Libur-libur begini kau belajar?" seru Ari sambil mengambil buku yang
terletak di pangkuan Yatim. Mendapatkan olok-olok dari Ari tersebut Yatim dan
Rian tertawa.
"Biar sepandai Einstin
ya, Tim!" timpal Rian.
"Besuk kamu ikut saya
ya, Tim!" ajak Ari.
"Ke mana?" tanya
Yatim.
"Ke rumahnya Pak Kromo
dalang!" jawab Ari.
"Rian ingin berkenalan
dan mengadakan wawancara dengan Pak Kromo!" tambahnya.
"Mengadakan wawancara?
Seperti wartawan saja!" gurau Yatim sambil tersenyum. Rian pun tersenyum.
"Kok, mengadakan
wawancara segala sebenarnya untuk apa sih, An?" tanya Yatim.
“Untuk bahan berita di
majalah sekolah!" jawab Ari mendahului Rian. Rian tersenyum. Rian kemudian
menyatakan, bahwa sekolahnya memiliki sebuah majalah berbentuk buku. Majalah
tersebut bemama "Generasi.” Di dalam majalah sekolah itu Rian termasuk
sebagai redaksinya. la dipercaya oleh sekolah sebagai wakil ketua redaksi
majalah. Salah satu dari tugasnya ialah mencari berita.
"Hei, bagaimana dengan
ajakanku. Kau ikut tidak ke rumahnya Pak Kromo?" tanya Ari kepada Yatim.
"Baiklah saya ikut ke
sana?" ujar Yatim.
"Oh ya, jangan lupa
mengajak pula teman-teman lain!" kata Ari. Ketiga anak tersebut kemudian
meninggalkan surau, dan pulang ke rumahnya masing-masing. Sesampainya di rumah
Rian dan Ari melihat Pak Santosa sedang mencangkul di kebun samping rumah
sebelah timur, sedangkan Aini mengikuti ibunya memetiki buah kecipir yang
tumbuh merambat pada pagar kebun. Rian dan Ari menghampiri Pak Santosa.
"Lubang-lubang ini
untuk apa, Paman?" tanya Rian kepada Pak Santosa. Pak Santosa menghentikan
pekerjaannya.
"Untuk menanam pohon
mangga Manalagi cangkokan!" jawab Pak Santosa sambil mengusap peluh di
wajahnya dengan handuk kecil yang ada di lehernya.
"Kalian pergi ke mana
saja seharian ini?" tanyanya kepada Rian dan Ari.
"Berkenalan kepada
teman-temannya Ari dan melihat-lihat keadaan desa, Paman!" jawab Rian.
"Kami besuk akan ke
rumahnya Pak Kromo Dalang, Pak. Rian akan mengadakan wawancara kepada Pak
Kromo!" kata Ari. Ibu Ari datang. la menyuruh Ari dan Rian untuk makan
siang. Siang hari itu mereka makan dengan lodeh daun ketela pohon. Rian makan
dengan lahapnya. Baru ini kali ia merasakan sayur lodeh daun ketela pohon,
ternyata lezat.
Nama Pak Kromo di Desa
Lohjinawi ada tiga orang, yaitu Pak Kromo Jagabaya, Pak Kromo Bebek, dan Pak
Kromo Dalang. Sesuai dengan sebutannya, Pak Kromo Dalang adalah mantan seorang
dalang wayang kulit. Pak Kromo Dalang berusia sekitar 75 tahun, karena umurnya
yang telah tua itulah ia berhenti mendalang. la seorang pecinta kesenian. Pada
usianya yang telah tua itu ia masih mampu membuat wayang kulit dan merawat
Candi Loh.
Pagi itu, Rian dan Ari
telah berolahraga, yaitu menimba air sumur untuk mengisi bak mandi dan bak air
yang ada di dapur. Usai mandi dan sarapan, mereka pun menemui teman-temannya
yang sudah menunggu di teras rumah. Sesuai rencana, hari itu mereka berjalan
kaki ke rumah Pak Kromo.
Rumah Pak Kromo terletak
tidak jauh dari Candi Loh. Ketika Rian dan teman-temannya ke rumahnya, mereka
melihat lelaki tua itu sedang membersihkan halaman candi. Ari mengajak Rian dan teman-temannya untuk
menemuinya. Kedatangan Rian dan teman-temannya disambut Pak Kromo dengan senang
hati. Oleh orang tua tersebut mereka diajak berjalan mengelilingi bangunan
Candi Loh.
Candi Lohjinawi atau Candi
Loh merupakan candi yang dibuat dari batu kali. Bentuknya mirip dengan Candi Prambanan.
Pada dinding-dinding Candi Loh terdapat relief yang sangat indah. Rian
mengaguminya.
“Apakah candi ini masih
asli, Pak?” tanya Rian seusai memotret. Pak Kromo tersenyum.
“Candi ini masih asli
seluruhnya! Ini semua karena seluruh warga Desa Lohjinawi menjaganya,” jawab
Pak Kromo.
“Sudah berapa tahun, ya
umur candi ini?” tanya Nico.
“Konon, candi ini dibangun
pada masa Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk. Candi ini
merupakan tempat perabuan dari Raden Panji Citra yang membangun Desa Lohjinawi
ini,” kata Pak Kromo.
“Mengapa Prabu Hayam Wuruk
yang membangun candi ini? Apakah Raden Panji Citra itu masih keluarga Prabu
Hayam Wuruk?” tanya Rian.
Pak Kromo tersenyum dan
mengangguk-angguk.
“Nak Rian sungguh cerdas,”
kata Pak Kromo.
Selanjutnya orang tua itu
berkisah, bahwa Raden Panji Citra masih bersaudara dengan Prabu Hayam Wuruk. Ia
tidak mau tinggal di lingkungan Kraton Majapahit, namun ia lebih suka hidup sebagai petani di
desa yang ia dirikan, yaitu Desa Lohjinawi. Berkat kepemimpinan Raden Panji
Citra, menjadikan Desa Lohjinawi sebagai desa penghasil atau lumbung padi
terbesar di Majapahit. Singkatnya, Candi Lohjinawi dibangun oleh Prabu Hayam
Wuruk untuk menghargai dan menghormati
atas jasa Raden Panji Citra dalam membangun bidang pertanian.
Pak Kromo pun kemudian
mengajak Rian dan teman-temannya untuk melihat dan mencermati relief yang
terpampang pada dinding candi. Mereka
mencoba mengurutkan dan membaca relief-relief itu.
“Ah, siapa ini dan lagi apa
ya mereka? Aduh aku tak mengerti!” seru Nico. Pak Kromo tersenyum.
Menurut Pak Kromo, dinding
candi berelief ini tiada bedanya dengan halaman buku. Bila halaman buku berisi tulisan,
sedangkan dinding candi berisikan gambar, yaitu gambar berkisah. Gambar-gambar
atau relief pada dinding candi pada umumnya berisikan suatu pelajaran atau
pendidikan. Selain itu ada pula yang menyajikan suatu cerita sejarah atau
cerita sastra. Sedangkan relief pada dinding Candi Lohjinawi ini berkisah
tentang Dewi Sri dan Raden Sadana. Siapakah mereka?
“Coba perhatikan relief
pertama ini,” kata Pak Kromo.
Rian dan teman-temannya pun
memperhatikan relief yang ditunjuk oleh Pak Kromo. Pada relief pertama itu
terlihat seorang pemuda sedang menghormat kepada seorang raja yang duduk di
taktanya.
“Pemuda yang duduk
menghormat ini adalah Raden Sadana. Sedangkan orang yang duduk di taktanya ini
adalah Prabu Sri Maha Punggung.
Sambil berjalan mengikuti
arah lembaran relief di dinding candi, Pak Kromo pun berkisah, bahwa Prabu Sri
Mahapunggung dari kerajaan Purwacarita memiliki tiga orang putra, yaitu Dewi
Sri, Raden Sadana, dan Raden Wandu. Karena usia raja telah tua, maka Sang Raja
bermaksud menyerahkan kekuasaannya kepada Raden Saddana.
Untuk itu, maka Prabu Sri
Mahapunggung bermaksud menikahkan Raden Sadana dahulu. la akan dinikahkan
dengan Dewi Panitra, puteri Bagawan Kasyapa. Namun Raden Sadana menolaknya. la
beralasan bahwa ia masih terlalu muda, masih dangkal pengetahuan dan
pengalamannya.
Raden Sadana ingin
berkelana bagaikan burung menjelajahi wilayah kerajaan Purwacarita. la ingin
mengetahui keadaan wilayah kerajaan dan kehidupan rakyatnya. Hal itu amat
penting bagi seorang calon raja. Sebab dengan mengetahui keadaan wilayah dan
kehidupan rakyatnya ia akan dapat merasakan pula kehidupan dari rakyatnya.
Dengan cara demikian ia akan dapat merencanakan kegiatan pembangunan untuk kesejahteraan
rakyat kerajaan Purwacarita.
Sebagai pertimbangan lain
yang meyebabkan ia menolak untuk menikah adalah karena kakaknya, yaitu Dewi Sri
yang belum menikah. Raden Sadana bersedia menikah, apabila Dewi Sri telah
menikah. Selama kakaknya belum menikah, maka ia tidak akan mau menikah dan
tidak akan mau diangkat menjadi raja.
Sebenarnya Prabu Sri
Mahapunggung dan para penasihat kerajaan telah menjelaskan, bahwa Dewi Sri akan
segera dinikahkan pula. Namun Raden Sadana tetap menolak. Hal itu menyebabkan
Sang Raja murka. Raden Sadana dianggapnya sebagai anak yang tidak mau
menghormati dan tidak mengabdi kepada orang tua.
"Kalau kau ingin
bebas, bebas bagaikan burung tanpa sarang, silakan pergi dari
Purwacarita!" berang Prabu Sri Mahapunggung. Murka Sang Prabu tersebut
menyebabkan Raden Sadana sedih dan binggung.
Akhirnya ia memutuskan pergi dari Kraton Purwacarita.
Kepergian Raden Sadana
tersebut menyedihkan hati Dewi Sri. Sang Dewi berpendapat, bahwa kepergian
adiknya tersebut sebenarnya disebabkan oleh dirinya. Karena merasa bersalah dan
sayang terhadap sang adik, maka Dewi Sri pun ikut meninggalkan kraton dan
menyusul kepergian Raden Sadana.
"Sedangkan relief yang
diantaranya bergambar para raksasa berikut ini mengisahkan tentang kedatangan
Patih Ditya Kalandaru dari Kerajaan Medang Kumuwung dan peperangannya melawan
perajurit Purwacarita yang dipimpin oleh Patih Mudabarata," kata Pak
Kromo.
Orang tua yang juga disebut
dengan Pak Kromo Dalang itu kemudian melanjutkan berkisah, bahwa kepergian
Raden Sadana dan Dewi Sri menjadikan Prabu Sri Mahapunggung murka. Dalam
murkanya tersebut ia katakan, bahwa Raden Sadana itu bagaikan burung dan Dewi
Sri bagaikan ular sawah. Keduanya berlaku sesuka hatinya dan liar.
Sang Prabu adalah seorang
raja yang sakti. Konon ayah Prabu Sri Mahapunggung, yaitu Prabu Wisnupati
merupakan titisan dari Dewa Wisnu. Oleh karena itu setiap perkataannya akan
menjadi kenyataan. Demikian pula dengan perkataan dari Prabu Sri Mahapunggung.
Perkataannya yang bernada murka akan menimbulkan bencana.
Beberapa hari dari
kepergian Dewi Sri, Kerajaan Purwacarita kedatangan Patih Ditya Kalandaru. la
mendapat tugas dari rajanya, yaitu Prabu Kala Pulaswa dari kerajaan Medang
Kumuwung untuk melamar Dewi Sri. Lamaran tersebut ditolak oleh Prabu Sri
Mahapunggung. Akhirnya timbulah peperangan. Dalam peperangan tersebut banyak
menimbulkan korban dan menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat kecil. Oleh karena
itulah, maka Prabu Sri Mahapunggung mengadakan perundingan dengan Prabu Kala
Pulaswa.
Dalam perundingan tersebut
disebutkan, bahwa Prabu Sri Mahapunggung menerima lamaran dari Prabu Kala
Pulaswa. Pernikahan antara Prabu Kala Pulaswa dengan Dewi Sri akan segera
dilaksanakan, manakala Dewi Sri telah diketemukannya.
Berhari-hari Dewi Sri
meninggalkan Kerajaan Purwacarita untuk mencari Raden Sadana, namun adiknya
tersebut belum juga diketemukannya. Raden Sadana bak ditelan bumi. Dalam
perjalanannya yang berat itu Sang Dewi Sri sering singgah dan tinggal bersama
dengan para petani di desa-desa. Kepada para petani tersebut diberinya nasihat
tentang cara hidup yang sehat, dan tentang cara memuji syukur kepada Yang Maha
Esa. Keberadaan Dewi Sri di tengah-tengah para petani tersebut telah memacu
para petani giat belajar berusaha.
Pada suatu malam, hati sang
Dewi sangat sedih. la bersembahyang semalaman memohon keadilan kepada Yang Maha
Esa. Kesedihan hati Dewi Sri mendapatkan perhatian dari para dewa. Dewa Batara
Guru dan Batara Narada disertai dua bidadari yaitu oleh Dewi Widowati dan Dewi
Lokati turun ke bumi menemui Dewi Sri. Batara Guru memberi tahu, bahwa Dewi Sri
itu sebenarnya seorang bidadari. Dewi Sri, Dewi Widowati, dan Dewi Lokati
adalah bidadari yang memiliki satu jiwa dalam tiga badan. Dengan demikian,
sedihnya hati Dewi dirasakan pula oleh hati Dewi Widowati dan Dewi Lokati.
Pada saat itu pula Batara
Guru menjelaskan, bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana memang ditugasi oleh para
dewa untuk menjadi dewa dan dewinya para petani. Tugas yang agung dan mulia
tersebut harus dijalaninya. Oleh Batara Guru, Dewi Sri diberinya pusaka
"Lebu Pratala Retna" yang berkhasiat menyuburkan tanah. Mulai saat
itulah Dewi Sri giat memberikan nasihat dan petunjuk tentang pertanian kepada
para petani. Demikian pula yang dilakukan oleh Raden Sadana. Kepada para petani
keduanya menjelaskan tentang cara mengolah tanah, pembibitan, penanaman,
pemupukan, perawatan, dan cara menunainya.
Sementara itu, Patih Ditya
Kalandaru dan pasukannya yang sedang mencari Dewi Sri telah berlaku membuat
kerusakan. Mereka juga melakukan perampokan terhadap harta benda masyarakat di
desa-desa yang dilaluinya. Tindakan para raksasa tersebut memprihatinkan rakyat.
Pada suatu hari Ditya
Kalandaru berhasil mengetahui tempat tinggal Dewi Sri. Mereka mengadakan
pengepungan. Dewi Sri terjepit. Pada saat demikian Dewi Sri ingat, bahwa ia
memiliki pusaka pemberian dewa, yaitu "Lebu Pratala Retna" yang
berupa bubukan.
Pusaka tersebut kemudian
disebarkannya ke arah Patih Ditya Kalandaru dan para pengikutnya. Akibatnya
seketika itu pula Ditya Kalandaru dan pengikutnya menjadi buta. Mereka segera
melarikan diri dengan membabi buta. Ada dari mereka yang saling bertubrukan,
menabrak pohon, menabrak batu, dan terjerumus dalam sungai serta jurang.
Dengan marah yang luar
biasa Patih Ditya Kalandaru mengamuk. Aneka benda seperti pohon, batu, dan
bukit yang ia tabrak dihajar dan dihancurkannya. Tanpa ia sengaja, dalam
kemarahannya tersebut ia menghancurkan sebuah batu besar yang menutupi lubang
gua.
Dari dalam gua tersebut
munculah seekor burung berkepala raksasa yang bernama Wilmuka. Karena merasa
ditolong oleh Ditya Kalandaru, yaitu dapat ke luar dari dalam gua, maka ia membalas
kebaikan tersebut dengan menyembuhkan mata Sang Patih. Selain itu ia bersedia
membantunya mencari Dewi Sri. Burung Wilmuka pun kemudian terbang untuk mencari
Dewi Sri.
Ketika itu sedang musim
tanam. Di tengah sawah, Dewi Sri tengah berkumpul dengan para petani. Saat itu
Dewi Sri sedang menasihati para petani. Hal itu diketahui oleh Wilmuka, maka ia
pun segera terbang menukik dan menyambar Sang Dewi. Dewi Sri pun dibawanya
terbang tinggi ke arah tempat Patih Ditya Kalandaru.
Perbuatan burung Wilmuka
tersebut diketahui oleh burung garuda peliharaan Dewa Wisnu. Burung yang
bernama Winanteya itu pun segera mengejar dan melabrak burung Wilmuka. Kemudian
kedua burung itupun bertarung di udara dengan serunya. Dalam pertarungan
tersebut burung Wilmuka lupa, bahwa kakinya sedang mencengkeram Dewi Sri.
Ketika ia bermaksud mencakarkan kakinya kepada burung Winanteya, tubuh Dewi Sri
pun terlepas. Dewi Sri jatuh ke bumi. la meninggal dunia dengan keadaan tubuh
hancur berkeping-keping.
Kematian Dewi Sri sangat
menyedihkan para petani. Oleh karena itu, maka mereka mengadakan sesaji di
sawah-sawah. Kematian Dewi Sri tersebut didengar pula oleh Raden Sadana. Dengan
hati duka Raden Sadana mendatangi tempat meninggalnya Dewi Sri. Di situlah ia
bersemadi berlama-lama untuk memohon keadilan kepada para dewa. Dalam
kesedihannya yang dalam mengakibatkan tubuh Raden Sadana menderita yang sangat
luar biasa dan tiba-tiba ia berubah. la berubah menjadi burung sriti.
Raden Sadana yang telah
berubah menjadi burung sriti tersebut setiap hari terbang dari sawah yang satu
ke sawah yang lain. Perubahan Raden Sadana tersebut membuat sedih para dewa.
Akhirnya ketua para dewa, yaitu Batara Guru dan Batara Narada kembali turun ke
bumi, ke tempat di mana Dewi Sri meninggal dunia.
Di tempat tersebut Batara
Guru menyiramkan air kehidupan. Seketika itu pula jasat Dewi Sri yang hancur
kembali menyatu. Akhirnya Dewi Sri pun hidup kembali. Batara Guru mengingatkan
kepada Dewi Sri, bahwa ia dan Raden Sadana adalah sepasang dewa dan dewi
sandang pangan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu Batara Guru
memerintahkan Dewi Sri untuk mencari Raden Sadana serta menjalankan tugasnya
yang agung dan mulia tersebut.
Berhari-hari Dewi Sri
mencari Raden Sadana. Hingga pada suatu malam. Tiba-tiba Dewi Sri merasakan
nyeri pada tubuhnya. Akibatnya ia pingsan. Ketika sadar ternyata ia telah
berubah menjadi seekor ular sawah. Dewi Sri yang telah menjadi ular sawah itu
pun kemudian melata ke sawah-sawah. la memangsa segala hama tanaman.
Pada suatu masa menjelang
panen padi, munculah serombongan burung. Burung-burung tersebut menjarah
tanaman padi, namun ada seekor burung yang tidak memakan padi. Burung kecil
warna hitam itu adalah burung sriti perubahan dari Raden Sadana. Suatu waktu
burung sriti Sadana melihat seekor ular sawah yang sedang melingkar di tengah
sawah. Saat itu ular sawah pun sedang memperhatikannya. Keduanya saling
berpandangan dan akhirnya mereka saling mengenal, bahwa mereka adalah Dewi Sri
dan Raden Sadana.
Pertemuan yang mengharukan,
namun juga membahagiakan tersebut menyebabkan mereka berubah kembali sebagai
manusia. Sejak saat itulah Dewi Sri dan Raden Sadana senantiasa bersama
memberikan penyuluhan pertanian kepada para petani, dari desa yang satu ke desa
lainnya. Keduanya menyatu dengan kehidupan rakyat. Tugas mulia itu mereka
kerjakan dengan senang hati dan penuh tanggungjawab.
Sementara itu, karena tidak
berhasil mendapatkan Dewi Sri, maka Patih Ditya Kalandaru menyerang Kerajaan
Purwacarita. Dalam peperangan tersebut pasukan Kerajaan Purwacarita terdesak
dan Patih Mudabarata terpaksa meminta bantuan para petani. Pada saat itulah
muncul Raden Sadana dan Dewi Sri yang menyamar sebagai rakyat petani. Mereka
menyanggupi memerangi pasukan Patih Ditya Kalandaru.
Dalam peperangan tersebut
Dewi Sri dan Raden Sadana memperoleh kemenangan. Patih Ditya Kalandaru berhasil
mereka musnahkan. Tubuh Patih Ditya Kalandaru hancur. Serpihan tubuh Patih
Ditya Kalandaru berubah menjadi berbagai hama pemangsa tanaman seperti tikus,
walang sangit, kutu loncat, dan jenis hama lainnya.
"Nah, begitulah kisah
dari Sri Sadana dari relief dari Candi Lohjinawi ini!" kata Pak Kromo mengakhiri
penjelasannya. Pak Kromo kemudian mengajak Rian dan teman-temannya memasuki
ruang candi. Di dalam ruang candi tersebut terdapat dua buah patung yang sangat
indah. Ukuran patung tersebut tidaklah besar, tingginya kurang satu meteran.
"Patung yang sebelah
kiri ini adalah Dewi Sri, sedang patung di sebelahnya adalah Raden Sadana"
kata Pak Kromo Dalang. la ungkapkan pula, bahwa usia candi Lohjinawi itu sudah
sangat tua. Candi Lohjinawi termasuk bangunan peninggalan sejarah yang
dilindungi oleh undang-undang.
"Tanah di sekitar sini
dahulu sering digali oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab untuk mencari
benda-benda kuno. Mereka sering mendapatkan, mata uang kuno, mangkuk dan
barang-barang kuno lainnya. Selain itu di desa sini juga ada sebuah candi lagi,
namun keadaannya telah berubah. Orang lain dari luar desa sini telah
memperbaiki candi tersebut dengan bahan bangunan baru, akhirnya bentuk candi
berubah dan menghilangkan bahan bangunannya yang asli. Hal itu termasuk merusak
sejarah!" ujar Pak Kromo Dalang.
Saat itu matahari telah
berada di atas Desa Lohjinawi. Rian dan teman-temannya kembali ke rumah
masing-masing.
"Acara kita selanjutnya
apa, An?" tanya Yatim kepada Rian.
"Em, apa ya? Em..
gimana kalau menemui Pak Jomino? Jawab Rian.
“Pak Jomino orang tua aneh
itu, kau kenal denganya?” tanya Ari.
“Ya, kenal di bus,” jawab
Rian
“Pada Pak Jomino itu apanya
yang menarikmu Rian?” tanya Yatim.
Rian tersenyum. Ia katakana
kepada Ari dan teman-temannya, bahwa Pak Jomino itu menurutnya cukup unik.
Dengan usianya yang sudah tua, ternyata ia masih berjuang bekerja, walau hanya sebagai
pengamen yang bermodalkan dongeng-dongeng kuno seperti dongeng Damarwulan-Menak
Jinggo.
“Untuk bisa menemui Pak
Jomino aku ragu, An. Pak Jomino itu orang yang sukar diketahui kapan berada di
rumahnya. Tentang dongeng itu, kalau gak salah ayahku pun tahu. Ia bisa
bercerita kepadamu, An,” sela Ari.
“Yah kalau gitu, acara
berikutnya apa, Ar?” tanya Rian kepada Ari.
"Bagaimana kalau
mengikuti acara ayahku, yaitu membina orang-orang Kejar Paket !" usul Ari.
"Membina orang-orang
Kejar Paket? Kegiatan apakah itu, Ar?" tanya Rian penasaran. Ari
tersenyum.
"Nah, penasarankan? Nanti
kau akan mengetahuinya sendiri!" jawab Ari.
"Kejar Paket itu tiada
ubahnya seperti sekolah, namun siswanya dari berbagai usia!" celetuk Yatim.
"Maklum mereka masih
buta huruf!" timpal Nico. Hal itu semakin mengherankan Rian. la semakin
tertarik untuk mengetahui kegiatan Kejar Paket tersebut.
***
Bagian
4.
Sri
Kandi Jamur Merang
Saat itu sekitar pukul
18.00. Namun suasana alam pedesaan sudah sunyi, seakan telah lelap tertidur. Rian
dan Ari mendekati Pak Santosa yang sedang menulis-nulis pada buku di meja tulisnya.
"Paman, bolehkah saya
bertanya?" tanya Rian. Pak Santosa menghentikan kegiatannya. Rian dan Ari
dipandanginya dan kemudian tersenyum.
"Kau akan bertanya
apa, Rian?" tanya Pak Santosa.
"Tentang Kejar paket,
Paman. Dapatkah Paman menjelaskan apakah Kejar Paket itu?" tanya Rian.
“Juga tentang dongeng
Damarwulan yang biasa didongengkan oleh Pak Jomino di bus, Yah” kata Ari pula.
“Oh, kau kenal Pak Jomino
di bus, ya? Ah, kau ini memang berbakat menjadi wartawan, An!" kata Pak
santosa.
Pak Santosa kemudian
memberi tahu, bahwa Pak Jomino itu termasuk orang yang sukar diketahui
keberadaannya. Banyak warga desa yang tak tahu kapan datang dan perginya Pak
Jomino.
“Sebenarnya baguslah bila kamu
bisa ketemu langsung dengan Pak Jomino, tetapi yaitu…,terbentur pada waktu
kapan bisa ketemu. Tetapi kalau sekedar ingin tahu tentang cerita Damarwulan...ya
sedikit-sedikit saya pun akan bercerita, namun tidak untuk hari ini. Petang ini
saya akan membina warga Kejar Paket,” urai Pak Santosa.
“Baik, Paman, saya akan
ikut Paman,” kata Rian.
Pak Santosa tersenyum. Kemudian
iapun berkisah, bahwa saat ini masih ada sebagian dari masyarakat usia 12 - 44
tahun yang masih menyandang buta huruf
dan sebagian lagi putus sekolah. Diantara mereka memang dapat menghitung
seperti 5+5 = 10 atau menghitung uang ratusan ribu rupiah pun, namun mereka
belum dapat menuliskannya. Mereka itu ada juga yang pernah sekolah, baik di SD,
SMP atau SMA/SMK, namun karena suatu hal, mereka belum sampai lulus. Mereka itulah yang disebut putus sekolah. Oleh
karena itu untuk memberikan kesempatan belajar kepada mereka pemerintah melaksanakan
program pemberantasan buta huruf yang disebut Program Keaksaraan dan Program
Kesetaraan untuk warga belajar yang putus sekolah.
Mereka pada umumnya belajar
pada malam hari di suatu tempat yang disebut panti belajar. Panti belajar
tersebut dapat berupa rumah penduduk, balai desa, sekolahan, dan tempat-tempat
lain. Pada umumnya dalam satu minggu mereka mendapatkan pembinaan sebanyak dua
kali, misalnya pada hari Rabu dan hari Sabtu. Masing-masing selama 2 atau 3 jam
pelajaran.
Kegiatan dari
program-program tersebut dilakukan oleh beberapa orang pembina yang disebut
dengan tutor. Tutor tersebut dapat berasal dari guru, mahasiswa, ABRI, pegawai
negeri lain, pegawai swasta, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat lainnya.
Warga belajar Keaksaraan
dan Kesetaraan tidak hanya mendapatkan pelajaran menulis, membaca, dan
berhitung sesuai mata pelajaran pada umumnya, namun juga mendapatkan
bermacam-macam ketrampilan. Seperti halnya sekolah pada umumnya, mereka pun
akan mengikuti ujian nasional untuk mendapatkan ijasah.
"Nah, apabila tertarik
dengan masalah Kejar Paket ini silakan kalian datang ke balai desa. Di tempat
tersebutlah saya membina Kejar Paket A dan Paket B yang saya beri nama Puspa.
Secara kebetulan pada malam ini saya mendatangkan Bu Ponirah seorang warga
belajar yang kini telah menjadi seseorang yang berhasil. Ia biasa disebut
sebagai Srikandi jamur merang asal Desa
Padas Putih. Bu Ponirah akan menyampaikan pengalamannya bertanam dan berusaha
Jamur merang kepada para warga belajar Kejar Paket yang saya bina!" kata
Pak Santosa.
“Srikandi? Bukankah ia itu
seorang pahlawan wanita dalam pewayangan Paman?” tanya Rian.
“Betul, Srikandi adalah
seorang senopati wanita pada perang Baratayuda, yaitu perang besar antara Amarta melawan Hastina. Dalam perang
itu ia berhasil menyingkirkan Resi Bisma, senopati Hastina,” jawab Pak Santosa.
Penjelasan Pak Santosa tersebut menyenangkan Rian. la pun kemudian mengajak Ari
dan teman-temannya mengikuti pamannya ke balai desa untuk menyaksikan kegiatan
pembinaan Kejar Paket.
Tepat pukul 19.00 Bu
Ponirah datang bersama suaminya dengan menaiki sepeda motor baru. Pak Santosa
dan istri menyambutnya dengan ramah. Rian dan teman-temannya diperkenalkannya
kepada Bu Ponirah.
"Nak, Rian. Saya
hampir tiap dua minggu selalu berkirim jamur merang ke beberapa restoran di
kota," kata Bu Poni dengan wajah berseri.
"Kalau ke kota dan ada
kesempatan silakan Ibu singgah ke rumah kami" kata Rian. Bu Poni tersenyum
dan mengangguk.
"Nak Rian suka jamur
merang tidak?" tanya Bu Ponirah. Rian tersenyum.
"Suka, Bu!"
jawabnya.
Seusai minum air teh Pak
Santosa mengajak tamunya menuju ke balai desa. Rian dan teman-temannya pun
mengikutinya. Di balai desa warga belajar Kejar Paket A yang bercampur dengan
Kejar Paket B yang berjumlah 20 orang telah berkumpul. Mereka terdiri dari 11
orang wanita dan 9 orang pria. Umur mereka rata-rata 16-18 tahun.
Mereka duduk teratur
menghadap ke arah papan tulis selayaknya anak-anak sekolah pada umumnya. Selain
warga belajar hadir pula Pak Hamim Kepala Desa Lohjinawi, dan Bu Nurini selaku
penilik pendidikan masyarakat serta warga masyarakat lain yang menyaksikan.
Pembinaan pada malam itu seperti biasanya dimulai oleh Pak Santosa sebagai
tutornya. Kepada warga belajarnya la memperkenalkan Bu Ponirah dan suaminya.
"Bu Ponirah dan
suaminya ini berasal dari Desa Padas Putih. Saat ini ia telah menjadi seorang
juragan, yaitu sebagai juragan jamur merang yang berhasil. Menurut
keterangannya, Bu Ponirah ini dahulunya juga seperti Bapak dan Ibu, yaitu ikut
Kejar Paket. Pada malam ini Bu Ponirah hadir di sini untuk menularkan
pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya kepada kita" kata Pak
Santosa.
"Kepada Bu Ponirah
saya silakan untuk menceritakan pengalaman kehidupannya dan juga menyampaikan
ketrampilannya bertanam jamur merang!" tambah Pak Santosa. Bu Ponirah
menuju ke depan papan tulis. Setelah memberikan hormat kepada Pak Lurah, Bu
Penilik Pendidikan Masyarakat, dan pada warga belajar Kejar Paket A Puspa ia
mulai menceritakan pengalaman hidupnya.
Bu Ponirah berkisah, bahwa
pada awalnya, ia dan suaminya pernah sekolah SD, namun belum lulus. Hidupnya
pun miskin, karena pekerjaan keduanya hanya
sebagai buruh tani.
"Kami tak memiliki
ketrampilan apapun. Saat itu kami pasrah pada takdir tuhan. Tuhanlah yang
menakdirkan hidup kami miskin,“ kata Bu Ponirah. Bu Ponirah menyatakan, bahwa
saat itu sebenarnya sudah ada Kejar Paket, namun ia dan suaminya malu untuk mengikutinya.
“Saat itu saya berpikir
saya ini hanya seorang wanita, untuk apa mesti harus dapat menulis, membaca,
berhitung, dan berbahasa indonesia? Satu tahun kemudian anak saya masuk
sekolah. Suatu hari anak saya minta diajari me-nulis dan membaca. Saat itu saya
sangat sedih, karena saya tidak dapat membantu belajar anak saya. Malam itu saya menangis, akhirnya saya dan suami memutuskan mengikuti
Keja Paket A. Selain belajar di Kejar paket A kami juga belajar sendiri di
rumah.
Akhirnya kami lulus Kejar
Paket A. Setelah itu kami lanjutkan ke Kejar Paket B. Alhamdulillah, Kejar
Paket B pun telah kami tuntaskan," ungkap Bu Ponirah sambil tersenyum. Pak
Santosa bertepuk tangan dan yang lain pun mengikutinya untuk memberikan
penghormatan pada Bu Ponirah dan suaminya.
Bu Ponirah menyatakan pula,
bahwa pada beberapa tahun yang lalu, usai lulus Kejar Paket B, ia dan suaminya
mendapat kepercayaan dari kepala desanya untuk mengelola perpustakaan desa.
Dari buku-buku yang ada di perpustakaan desa itulah mereka mendapatkan berbagai
pengetahuan dan keterampilan, diantaranya tentang cara bertanam jamur merang.
“Dari bertanam jamur merang
inilah, kehidupan kami secara bertahap mulai membaik,” kata Bu Ponirah.
Selanjutnya dengan dibantu oleh suaminya Bu Ponirah memasang kertas gambar yang
cukup lebar di papan tulis. Dalam kertas gambar tersebut terdapat gambar jamur
merang dan tulisannya.
"Bapak dan Ibu
sekalian. Mengapa kami bertanam jamur merang?" tanya Bu Ponirah.
Pertanyaan tersebut dijawabnya sendiri. la jelaskan, bahwa jamur merang itu
memberikan manfaat. Di Desa Padas Putih, juga di desa sini terdapat banyak
limbah pertanian berupa batang padi, merang, dan sekamnya. Barang-barang
tersebut selama ini kurang begitu dimanfaatkan, pada hal merang padi dapat pula
dimanfaatkan untuk bertanam jamur, yaitu jamur merang.
Jamur merang itu banyak
memberikan manfaat, diantaranya selain enak rasanya juga dapat untuk
meningkatkan gizi makanan, mencegah timbulnya penyakit anemia, menurunkan
tekanan darah tinggi, dan mengurangi timbulnya penyakit kanker. Jamur merang
mengandung berbagai zat yang diperlukan oleh tubuh.
Saat itu waktu menunjukkan
pukul 21.15 menit. Sebelum kegiatan pembinaan Kejar Paket diakhiri, Pak Santosa
memberikan pembinaan dan pengumuman.
"Bapak Ibu, tadi Pak
Lurah dan Ibu Penilik Dikmas membisiki saya. Pak Lurah bisik-bisik, bahwa ia
bermaksud akan mengajak Bapak Ibu untuk mengadakan uji coba bertanam jamur
merang dan beternak lebah madu. Oleh karena itu, sebelum mengadakan uji coba
Pak Lurah akan mengajak Bapak Ibu datang ke rumahnya Bu Ponirah di Desa Padas
Putih" kata Pak Santosa.
"Hui, hidup Pak
Lurah!" sambut warga belajar meluapkan kegembiraannya.
"Saya setuju, Pak.
Kapan kita ke sana?" tanya seorang ibu warga belajar. Mendapatkan
pertanyaan tersebut Pak Lurah tertawa.
"Minggu depan!"
jawabnya.
"Nah, sekarang
bisik-bisik dari Ibu Penilik Dikmas. Tadi Ibu Nurini menyampaikan bisikan ke
saya, bahwa pada bulan Juli nanti akan ada lomba Kejar Paket tingkat kabupaten
sampai tingkat provinsi dan tingkat nasional. Dalam lomba tersebut, Ibu Nurini
bermaksud menyertakan Kejar Paket Puspa.
Bagaimana, apakah Bapak Ibu siap dan bersedia?" tanya Pak Santosa.
"Lomba tersebut
kira-kira bagaimana caranya, Pak?" tanya seorang warga belajar. Pak
Santosa tersenyum. la kemudian minta kepada Bu Nurini untuk menjelaskannya. Bu
Nurini tersenyum. Ia pun kemudian memberikan penjelasan, bahwa dalam lomba
tersebut ada beberapa hal yang akan dinilai misalnya mengadakan tanya jawab
dengan warga belajar tentang pengetahuan dan keterampilannya, tentang buku
Paket yang telah dipelajari, tentang administrasinya, dan bidang lain yang
berkaitan dengan kegiatan Kejar paket.
"Kalau hanya sekitar
itu saja kami siap untuk mengikuti lomba, Bu!" kata Bu Srini yang kemudian
mendapat sambutan kesediaan ikut lomba dari para warga belajar lainnya.
Mendengarkan sambutan dari
warga belajar tersebut Pak Lurah, Pak Santosa, dan Bu Nurini tersenyum.
Sambutan tersebut menandakan, bahwa warga belajar Kejar Paket Puspa telah siap
untuk mengikuti lomba Kejar Paket.
"Hebat, temyata
semangat belajar mereka tinggi, ya!" bisik Ari kepada Rian. Rian
mengangguk. la pun berbisik, bahwa belajar itu sebenarnya tidak ada pembatasan
umur dan tempat. Umur berapa pun dan di mana pun belajar itu dapat dilakukan.
Hal itu tergantung pada niat dan usahanya.
***
Bagian
5. Wartawan Cabe Rawit
Pagi hari itu Rian dan Ari
sedang menimba air sumur untuk diisikan ke bak kamar mandi dan bak air di
dapur. "Berita-berita tentang apa saja yang kau kerjakan untuk majalahmu,
An?" tanya Ari sambil menimba air. “Saya bertugas sebagai pemimpin redaksi
yang bertanggungjawab terhadap berita tentang kegiatan sekolah, namun demikian
saya dapat saja membuat berita-berita lain asalkan isi beritanya pantas untuk
majalah sekolah" jawab Rian.
"Bagaimanakah cara
membuat berita itu, An?" tanya Ari pula. Rian tersenyum.
"Membuat berita itu
tidak sulit, kok. Nanti akan saya jelaskan!” jawab Rian.
Saat itu pukul 08.00. Ari
mengajak Rian ke sekolahannya, yaitu SD Lohjinawi 01. Di depan ruang
perpustakaan terlihat Yatim, Ribut, Resti, dan teman-teman telah menunggunya.
Sebelum memasuki ruang perpustakaan mereka mengajak Rian melihat-lihat keadaan
sekitar sekolah.
"Pohon jambu apa
itu?" tanya Rian saat melihat dompolan-dompolan buah jambu putih bening
pada pohon jambu yang berada di kebun sekolah.
"Itu pohon jambu
Camplong dari Madura. Buah jambu Camplong itu berwarna putih bening. Rasanya
manis sekali," jawab Yatim.
"Pohon jambu itu
ditanam oleh siswa-siswa sini. Demikian pula dengan pohon mangga manalagi
itu,” kata Ari.
"Kaliankah yang
menanamnya?" tanya Rian.
"Tentu saja bukan,
melainkan mantan siswa SD sini. Penanam dari pohon-pohon itu saat ini telah
sekolah di SMU!" jawab Ribut.
"Ternyata sekolahan
kalian hebat!" kata Rian.
"Sekolahanmu di kota
tentunya lebih bagus dari ini ya, An?" tanya Resti.
Rian tersenyum. Kemudian ia
mengatakan, bahwa sekolahannya memang bagus. Gedungnya bertingkat. Sekolahannya
juga memiliki perpustakaan yang bagus, memiliki beberapa buah komputer, di
halamannya ada tamannya, namun tidak mempunyai kebun sekolah.
"Sebenarnya tidak
semua sekolah di kota itu bagus. Beberapa sekolah yang pernah saya lihat ada
yang tidak memiliki halaman, taman, dan perpustakaan" jawab Rian. Seusai
berkeliling sekitar sekolah, Ari dan teman-temannya mengajak Rian memasuki
ruang perpustakaan.
"Wou, banyak juga
koleksi bukunya!" seru Rian saat melihat buku-buku yang tertata rapi pada
beberapa rak dan almari.
"Di perpustakaan ini
terdapat sekitar 1.000 judul atau sekitar 1.500 eksemplar buku," ujar
Yatim.
"Kalau di perpustakaan
sekolahmu ada berapa judul, An?" tanya Resti.
“Di perpustakaan sekolah
saya memiliki 3.000 judul atau sekitar 4.500 eksemplar buku!" jawab Rian.
"Wah, hebat
sekali!" seru Ribut. Rian tersenyum.
"Suatu saat
perpustakaan ini pun akan menjadi besar. Kalian pun sebenarnya bisa andil
mengembangkan perpustakaan ini, yaitu dengan membuat kliping," sambung
Rian.
"Apakah kliping
itu?" tanya Agung.
"Kliping itu adalah
berita dan gambar yang kita ambil atau kita potong dari suatu majalah atau
koran bekas. Berita atau gambar tersebut kemudian kita susun pada buku gambar
atau pada lembaran-lembaran kertas yang selanjutnya dijilid," jawab Rian.
"Nah, sesuai dengan
janjiku marilah sekarang kita membicarakan tentang cara membuat berita untuk
majalah dinding," sambungnya.
Rian kemudian menerangkan, bahwa sesuai
namanya, yaitu majalah dinding, berarti merupakan kumpulan berita dan karya
tulis lain serta gambar yang tertata pada suatu wadah, misalnya triplek yang
kemudian diletakkan di dinding.
Bila dirinci, majalah dinding terdiri atas:
1. Triplek sebagai papan dasar;
2. Kertas manila sebagai kertas dasar
penempelan lembar berita;
3. Lembar-lembar berita;
4. Alat perekat berupa lem, dan selotif atau
lakban.
Ukuran triplek dasar bebas.
Bisa 100 cm x 75 cm yang penting bisa menampung lembaran-lembaran berita dan
gambar atau foto-foto kegiatan sekolah. Demikian pula dengan ukuran kertas
manila yang digunakan sebagai tempat menampung berbagai berita, gambar, dan
foto-foto yang dibuat atau ditempelkan pada lembar kertas HVS atau kertas buku.
Selanjutnya Rian menjelaskan langkah-langkah
membuat majalah dinding, antara lain:
1. Membuat
berita.
Berita
dibuat oleh wartawan majalah dinding. Sedangkan karya-karya lain seperti cerita
pendek, puisi, gambar-gambar, dan foto-foto kegiatan sekolah diperoleh dari
para siswa atau dari dokumen sekolah;
Berita
itu dapat diketik dengan ketik biasa, dengan komputer atau ditulis tangan pada
kertas HVS atau kertas buku.
2. Menempelkan
kertas manila pada triplek dengan perekat selotif atau lakban. Selotif atau
lakban direkatkan pada seluruh bagian tepi kertas manila secara rata.
3. Menempelkan
lembar berita, lembar tulisan lain, lembar foto-foto, dan lembar gambar-gambar
yang telah dibuat pada lembaran kertas manila dengan lem biasa atau lem kertas
sesuai tempat-tempatnya dan urutan yang telah ditentukan atau disain. Misalnya
penempelan dimulai dari:
a.
lembar judul majalah dinding;
b. Lembar dari redaksi
c. Lembar berita utama atau berita penting
dan seterusnya.
“Bentar, Rian,” sela Yatim
tiba-tiba.
“Ya, ada apa, Tim?” tanya
Rian.
“Sebelum kamu terangkan
cara membuat berita, tolong terangkan dulu jenis-jenis berita yang baik untuk
majalah dinding. Apa saja sih isi majalah dinding itu?” kata Yatim. Rian
tersenyum.
“Pertanyaanmu bagus, Tim!” sambut Rian. Kemudian Rian
mengatakan, bahwa isi majalah dinding atau majalah sekolah pada umumnya berupa
semua kegiatan yang terjadi di sekolah dan semua karya tulis atau karya gambar
dari semua siswa di sekolah itu. Contoh:
1. Kegiatan
dalam memperingati hari kemerdekaan di sekolah;
2. Kegiatan
dalam memperingati hari pendidikan di sekolah;
3. Kegiatan
dalam memperingati hari keagamaan di sekolah;
4. Kegiatan-kegiatan
lain yang dilaksanakan di sekolah seperti kepramukaan, sekolah berwisata, kunjungan
ke sekolah lain, kesehatan, dan lainnya;
5. Siswa
yang memiliki prestasi atau yang mendapatkan penghargaan;
6. Profil
guru dan profil tiap kelas;
7. Ilmu
pengetahuan dan teknologi;
8. Seni
budaya, olahraga, dan wisata atau rekreasi;
9. Karya-karya
siswa seperti cerita pendek, humor, puisi, komik, gambar lucu, dan lainnya;
10. Foto-foto
kegiatan sekolah dan lainnya.
“Gimana, apa penjelasanku
masih kurang?” tanya Rian sambil tersenyum.
“Sudah, sangat jelas!”
jawab Yatim dengan tertawa.
“Tapi apakah kegiatan kita
seperti panen jambu Camplong dan kemudian menjualnya ke pasar itu apa juga bisa
dijadikan berita?” tanya Ribut kepada Yatim.
Mendengar pertanyaan itu
Rian tersenyum.
“Aaa..., itu bagus banget!
“ seru Rian.
“Tapi apa gak memalukan
sekolah?” ucap Yatim.
“Malu? Mengapa malu?
Kegiatan kalian memanen dan kemudian menjual jambu itu bagus. Itu usaha halal
yang dapat dijadikan contoh,” kata Rian.
Selanjutnya Rian pun
menerangkan cara membuat berita. Berita itu bersumber dari suatu peristiwa yang
terjadi. Berita bukanlah karangan yang dibuat sesuai selera si penulis. Selain
itu dalam membuat berita tidaklah dibenarkan bila didasarkan atas kebencian
atau ketidak senangannya terhadap seseorang.
Dalam membuat atau mengolah
suatu berita itu sebenarnya ada kuncinya. Kunci itu berupa beberapa pertanyaan
yang harus dijawab. Berita yang baik apabila berita itu memenuhi pertanyaan-pertanyaan ini, antara lain
mengandung pertanyaan: Apa? di
mana? Siapa? Apabila? Bagaimana? Mengapa?
Apa?
Pertanyaan apa?
mempertanyakan apa yang terjadi? Pertanyaan ini berhubungan dengan peristiwa
yang akan dijadikan berita. Contoh peristiwa yang terjadi di sekolah:
Saat memeperingati Hari Pendidikan Nasional.
Sekolah mengadakan berbagai kegiatan perlombaan seperti sepak bola dan
mengarang yang diikuti oleh para siswa. Dalam lomba mengarang yang diikuti oleh
30 peserta itu ke luar sebagai juaranya adalah Nico, siswa kelas 5. Atas
prestasinya tersebut Nico mendapatkan penghargaan dari Pak Hendra kepala
sekolah.
Sebagai pertanyaannya adalah "peristiwa
apakah itu?"
Jawabannya adalah "Peristiwa lomba
mengarang dalam memperingati hari Pendidikan Nasional." Jawaban dari pertanyaan
tersebut selanjutnya dijadikan judul atau kepala berita. Judul tersebut
misalnya Juara Lomba Mengarang.
Di
mana?
Pertanyaan di mana?
mempertanyakan tentang tempat terjadinya peristiwa. Jawabannya: peristiwa
terjadi di sekolah, yaitu di SD Lohjinawi. Bila suatu berita tanpa ada
kejelasan tempat peristiwa, maka berita tersebut dapat dianggap sebagai berita
khayal atau karangan belaka.
Siapa?
Pertanyaan siapa?
Mempertanyakan si pelaku dari peristiwa tersebut. Pada contoh tersebut di atas
pertanyaan "siapa?" ini dapat dikembangkan, misalnya: siapakah yang
menjadi juaranya? Sebagai jawabannya juaranya adalah Nico, siswa kelas 5.
Siapakah yang membuka acara peringatan tersebut? Sebagai jawabannya adalah
kepala sekolah (apabila kegiatan peringatan tersebut dibuka oleh kepala
sekolah).
Apabila?
Pertanyaan apabila?,
bilamana? atau kapan? Berkaitan dengan waktu dari peristiwa tersebut terjadi.
Dalam contoh peristiwa tersebut di atas sebagai jawabannya adalah saat
memperingati Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 atau misalnya pada tanggal 2
Mei 2013.
Bagaimana?
Pertanyaan bagaimana
berkaitan dengan terjadinya proses dari suatu peristiwa. Contoh dalam peristiwa
itu ialah: lomba mengarang yang diikuti oleh 30 anak berjalan dengan seru dan lancar.
Mengapa?
Pertanyaan mengapa
misalnya: “Mengapa Nico yang menjadi juara?” Jawabanya: menurut Pak Sutrisno,
seorang penilai lomba mengarang, karangan Nico paling bagus bila dibandingkan
dengan karangan lainnya.
"Nah, itulah cara
membuat suatu berita itu!" kata Rian. la kemudian mengeluarkan selembar
kertas folio yang telah berisi berita buatannya. Berita tersebut ia tunjukkan
kepada teman-temannya.
"Berita ini berita
tentang kegiatan Kejar Paket yang kemarin kita saksikan kegiatannya. Selain itu
ada beberapa bahan-bahan lain yang akan saya buat berita seperti profil Yatim, profil Bu Ponirah, profil Pak
Kromo Dalang, dan sebagainya" tambah Rian.
"Saya? Saya akan kau
buat berita?" tanya Yatim dengan keheranan. Rian tersenyum clan
mengangguk. "Saya telah memiliki judulnya. Berita tentang Yatim saya beri
judul Si Bintang Kelas Anak GN-OTA. Tentang Bu Ponirah saya beri judul Srikandi
Juragan Jamur Merang Lulusan Kejar Paket. Sedangkan untuk Pak Kromo saya beri
judul Dalang Tua dari Desa Lohjinawi.
Berita buatan Rian yang
berjuduf “Belajar Menjelang Senja" berisikan tentang kegiatan Kejar Paket
di Desa Lohjinawi. Berita tersebut kemudian dipelajari oleh Ari dan
teman-temannya.
Belajar
Menjelang Senja
Desa
Lohjinawi berpenduduk 800 orang. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai
petani dan buruh tani. Berdasarkan data kependudukan Desa Lohjinawi tahun 1991
di desa yang tertetak di wilayah Kecamatan Ringinputih Kabupaten Tawangsari
tersebut masih terdapat sejumlah 100 orang usia 12-44 tahun yang menyandang
buta huruf dan putus sekolah. Dari jumlah tersebut 60 orang penyandang buta
huruf murni dan 40 orang karena putus sekolah dasar.
Warga
penyandang buta huruf murni dimasukkan ke Program Keaksaraan, sedangkan warga
yang putus sekolah dimasukkan pada Program Kesetaraan. Program Kesetaraan di
Desa Lohjinawi terdiri atas dua Kejar Paket, yaitu Kejar Paket A dan Kejar
Paket B. Kejar Paket A itu setara dengan SD, sedangkan Kejar Paket B itu setara
dengan SMP.
Pada
tahun 1993 Pak Santosa dan beberapa orang guru sekolah dasar di Desa Lohjinawi
mengusulkan kepada kepala desa agar seluruh warga masyarakat yang masih
menyandang buta huruf dan putus sekolah tersebut diberi kesempatan untuk
belajar. Mereka dapat dibina dalam Kelompok Belajar (Kejar) Paket seperti Paket A dan Paket B.
Usul
Pak Santosa dan teman-temannya tersebut diterima oleh kepala desa, maka pada
tahun 1994 di Desa Lohjinawi terbentuklah beberapa Kelompok Belajar (Kejar)
Keaksaraan dan Kelompok Belajar Kesetaraan.
Pada
tiap program Keaksaraan dan Kesetaraan memiliki warga belajar berjumlah 10
orang. Mereka dibina oleh beberapa orang pembina yang disebut tutor. Para tutor
itu kebanyakan dari guru. Tutor Keaksaraan dan tutor Kejar Paket A dari guru
SD. Sedangkan tutor untuk Kejar Paket B dari guru SMP.
Berbeda
dengan sekolah pada umumnya, warga belajar Keaksaraan dan Kesetaraan belum tentu
belajar di ruang kelas sekolah. Tempat belajar mereka bisa di rumah penduduk,
ruang sekolah, balai desa, dan sebagainya. Sedangkan hari dan waktu belajarnya
ditentukan secara kesepakatan antara warga belajar dengan tutomya.
Pada
umumnya kegiatan belajar warga Keaksaraan dan warga Kesetaraan di Desa
Lohjinawi dilaksanakan pada malam hari, yaitu seusai sholat maghrib. Contoh
Kejar Paket A Puspa yang dibina oleh Pak Santosa. Mereka mengadakan pertemuan
sebanyak 2 kali per minggu, yaitu pada hari Rabu malam dan hari Sabtu malam.
Menurut
Pak Santosa, seorang tutor Kejar Paket A Puspa, bahwa warga belajar Kejar
Paket itu tidak hanya belajar membaca,
menulis, dan berhitung dari buku paket, tetapi juga belajar praktik berbagai
ketrampilan seperti ketrampilan membuat macam-macam kue, bertanam mangga,
menganyam, budidaya belut, budidaya lele, dan sebagainya.
Warga
belajar Kejar Paket juga mengikuti ujian nasional, karena itulah ijasah mereka
setara dengan ijasah yang diterima oleh para siswa sekolah pada umumnya. Sebagai
salah satu warga yang dapat dijadikan contoh keberhasilan pro-gram kesetaraan
ialah Bu Ponirah dan suaminya asal Desa Padas Putih. Bu Ponirah dan suaminya
termasuk kelompok putus sekolah. Mereka pernah sekolah, namun hanya sampai
kelas 3. Saat ini Bu Ponirah dan
suaminya telah berbeda jauh dengan masa lalunya. Kini mereka telah lulus dari
Kejar Paket B dan telah memiliki usaha mandiri dengan budidaya jamur merang.
“Saat
masuk Kejar, usiaku sudah cukup tua, yaitu 24 tahun, namun aku tak malu untuk belajar.
Kini aku semakin mengerti, bahwa hanya dengan membaca dan belajarlah orang akan
bisa maju. Bagiku sekarang, belajar dan berusaha itu tidak mengenal usia.
Karena itu manfaatkan usiamu untuk belajar dan berusaha” kata Ponirah. Itulah
pengakuan Ibu Ponirah, Srikandi Jamur Merang asal Desa Padas Putih. * Penulis Rian.
"Wah, hebat kamu,
An!" puji Yatim seusai membaca berita yang dibuat oleh Rian. Rian
tersenyum.
"Dengan modal
pertanyaan apa, di mana, siapa, kapan, dan bagaimana tersebut kita telah dapat
membuat suatu berita. Hal itu akan lebih mudah kita lakukan bila kita sering
belajar dan berlatih," kata Rian.
***
Bagian
6.
Hilangnya
Patung Dewa-Dewi Padi
Saat itu Rian dan
teman-temannya bermaksud meninggalkan ruang perpustakaan sekolah, tiba-tiba
Sunu muncul. la memberi tahu kepada Yatim dan teman-temannya, bahwa patung Dewi
Sri dan Raden Sadana yang ada di dalam Candi Loh hilang! Berita tersebut
mengejutkan Yatim dan teman-temannya.
"Hilangnya
patung-patung tersebut menyebabkan Pak Kromo jatuh pingsan. Saat ini ia dibawa
ke PUSKESMAS di kecamatan!" kata Sunu.
"Wah, gawat. Menurut
kepercayaan masyarakat sini, bila patung-patung itu hilang akan menimbulkan
bencana di desa ini!" kata Budi bersungguh-sungguh.
"Ah, kau ini. Itu
tahayul!" kata Yafim.
"Bila kau tak percaya,
lihat saja nanti!" ujar Budi. "Mari kita ke sana!" ajak Ari.
"Di sana saat ini
dijaga oleh 2 orang Polisi dan beberapa orang Hansip!" kata Sunu.
"Dijaga Polisi dan
Hansip?" tanya Nico.
"Ya, namun demikian
kita masih dapat menyaksikannya, walau agak jauh dari candi," jawab Sunu.
Siang hari itu sekitar
pukul 13.00. Rian dan teman-temannya meninggalkan ruang perpustakaan sekolah.
Mereka kemudian berduyun-duyun menuju ke Candi Loh. Di sepanjang perjalanan
mereka membicarakan hilangnya patung Sri Sadana. Mereka memikirkan siapa
pencurinya, berapa orang, kapan waktunya, dibawa ke mana, untuk apa, dan
sebagainya.
"Keadaan patung Sri
Sadana masih sangat cantik. Menurut kisah dari Pak Kromo, patung itu dibangun
pada masa kerajaan Majapahit. Berarti candi Loh dan patung Sri Sadana termasuk
benda-benda kepurbakalaan yang mahal harganya. Ya, patung-patung itu dapat
dijual dengan harga yang tinggi!" sambut Rian sambil berjalan.
Ketika Rian, Ari, Yatim,
dan teman-teman lainnya sampai di Candi Loh, keadaan sekitar candi telah sepi.
Di sana mereka hanya melihat Wiraguna. Wiraguna adalah seorang pemuda berusia
sekitar 24 tahun. la adalah mantan ketua Karang Taruna Desa Lohjinawi yang
telah bekerja di Jakarta. la juga dikenal sebagai seorang pendekar bela diri
dari suatu perguruan bela diri.
"Kak, Wira!" seru
Ari. Wira menoleh. Ari tersenyum. "Eh, Dik Ari!" sambut Wira yang
kemudian tersenyum dan melambaikan tangannya memanggil Ari beserta
teman-temannya. Ari, Rian, Yatim, dan teman-temananya pun mendekatinya. Ari
memperkenalkan Rian kepada Wira.
"Kapan Kak Wira datang
dari Jakarta'?" tanya Ari.
"Dua hari lalu!"
jawab Wira sambil mengepulkan asap rokoknya.
"Bagaimana keadaan Pak
Kromo, Kak?" tanya Yatim.
"la sudah sadar. Saat
ini ia ada di rumahnya," jawab Wira.
"Kira-kira kapankah
patung-patung itu hilang, Kak?" tanya Rian.
"Menurut keterangan
beberapa orang, patung-patung tersebut hilang pada sekitar menjelang
subuh!" jawab Wira.
"Apakah Polisi telah
mengetahui siapa pencurinya, Kak?" tanya Ari.
Wira menggeieng.
Dikatakannya, bahwa sampai saat ini Polisi belum men-dapatkan barang-barang
bukti yang berhubungan dengan hilangnya kedua patung tersebut.
"Ah, kira-kira siapa,
ya malingnya'?" desah Nico.
"Saya, kok mencurigai
si Celeng!" ungkap Wira yang kemudian menyedot asap rokoknya. Rokok yang
masih cukup panjang itu dibuangnya ke tanah dan kemudian diinjaknya dengan
sepatunya.
"Kak Pandi Celeng yang
mencuri?" ujar Yatim perlahan.
"Ya! Orang-orang sini
tahu, siapa Celeng itu! Kemarin saya lihat dia di rumahnya Pak Kimun, namun
hari ini ia telah pergi entah ke mana!" ungkap Wira. Wira membetulkan
letak kaca matanya, kemudian mengambil bungkus rokok dari saku bajunya. Rokok
yang tinggal sebatang itu kemudian disulutnya. Sedangkan bungkusnya ia buang
begitu saja ke tanah.
"Gara-gara patung
hilang terpaksa ibuku menunda memanen padinya dan akibatnya aku pun tertunda
kembali ke Jakarta!" ungkapnya bernada kesal.
"Rencananya kapan Kak
Wira kembali ke Jakarta?" tanya Yatim. `
"Rencananya hari ini,
yaitu setelah ibuku mengadakan acara kenduri di candi ini, namun saya juga
menunggu jemputan dari teman-temanku. Mereka membawa mobil sendiri! Andaikan
kulihat si Pandi Celeng, akan kuhajar dia!” gerutu Wiraguna. Setelah menarik
nafas, pemuda yang berambut gondrong itupun pergi.
“Kok, nampaknya ia benci
banget ya sama orang bernama Pandi, ya?” kata Rian.
“Entahlah, tapi Pandi itu
memang dikenal sebagai maling. Entah sudah berapa kali ia berurusan dengan
Polisi. Karena itu ia disebut dengan Pandi Celeng!” kata Ari.
"Bagaimana kalau kita
menjengguk Pak Kromo?" ajak Yatim. Ajakan Yatim disetujui oleh
teman-temannya. Saat itu Pak Kromo
sedang tiduran di ranjang. la masih kelihatan bersedih hati, namun kedatangan
Rian dan teman-temannya disambutnya dengan senang hati.
Kepada Rian dan
teman-temannya Pak Kromo mengatakan, bahwa pada malam hilangnya patung Sri
Sadana itu ia merasa mengantuk yang luar biasa dan badannya terasa demam. Oleh
karena itu pada pagi harinya hingga pukul 10.00 ia tidak ke luar rumah. Sekitar
pukul 10.30 Bu Wira yang akan mengadakan acara kenduri di candi datang
menemuinya.
"Untuk mempersiapkan
acara itulah, maka saya terpaksa memaksakan diri pergi ke candi. Begitu saya
memasuki ruang candi, saya kaget! Patung Sri Sadana tidak ada di
tempatnya!" kata Pak Kromo terbata-bata.
Tiba-tiba di pintu muncul
seorang pemuda berkulit gelap dengan membawa sebuah oleh-oleh. Ari, Yatim, dan
Niko telah mengenalnya. Pemuda kurus itu tiada lain adalah Pandi. Di desa
tersebut ia dikenal dengan sebutan Pandi Celeng.
Pandi Celeng meletakkan
bungkusan oleh-olehnya di meja di depan Pak Kromo.
"Keadaanmu bagaimana,
Pak?" tanya Pandi sambil membuka bungkusan oleh-oleh yang dibawanya.
"Agak baik, Di. Kau
ini, kok repot-repot membawakan oleh-oleh segala, ini dari mana, Di?" tanya
Pak Kromo.
"Dari kota, Pak!"
jawab Pandi.
"Berita patungnya
bagaimana, Pak?" tanyanya kemudian.
Pak Kromo terbatuk-batuk.
la kemudian menggelengkan kepalanya.
"Kalau memang sudah
hilang, ya sudahlah, Pak! Pak Kromo tak usah terlalu memikirkan dan
menyedihkannya!" kata Pandi.
“Gak bisa begitu, Di. Sebab
patung Sri Sadana itu telah menjadi bagian dari tata adat warga Desa
Lohjinawi,” jawab Pak Kromo.
“Kalau gitu ya sudah, Pak
aku mau pamit pulang,” kata Pandi. la pun bergegas berpamitan kepada Pak Kromo,
demikian pula dengan Ari dan teman-temannya.
"Dari gerak-geriknya, ia
memang pantas dicirugai sebagai pencurinya!" celetuk Nico. Kata-kata Nico
tersebut mengejutkan teman-temannya.
"Mengapa kau
mencurigainya? Bila kau mencurigai seseorang harus dapat menunjukkan
bukti-buktinya!" kata Yatim.
"Ya, benar. Itu dosa
lo, Nic!" kata Sunu.
"Saya memang tidak
punya bukti berupa barang, namun saya mempunyai dasar praduganya, antara lain: 1. dari kata-kata Kak Wira. Kepada kita
Kak Wira mengatakan kalau Pandi Celeng muiai kemarin tidak terlihat. la baru
terlihat tadi di rumahnya Pak Kromo dengan membawa oleh-oleh yang tak pernah
dilakukannya;
2. penilaian masyarakat.
Sebagian masyarakat sini tahu siapa itu Pandi Celeng. Disebut celeng, karena
dia memang seorang pemuda yang tidak baik. la suka mencuri, menyabung ayam, adu
merpati, dan suka judi!" kata Nico berdalih.
Yatim, Rian, Ari, Sunu, dan
Budi termenung. Sebagian dari mereka, yaitu Sunu, Budi, dan Ari sependapat
dengan alasan yang disampaikan oleh Nico.
"Eh, bagaimana kalau
kita coba-coba mengadakan penyelidikan terhadap hilangnya patung Sri Sadana
tersebut!" usul Yatim tiba-tiba.
"Saya setuju!"
sambut Nico yang kemudian disusul oleh sambutan setuju dari teman-temannya.
"Tapi bagaimana
caranya? Penyelidikan ini kita mulai dari mana?" tanya Nico terbengong.
"Bagaimana kalau
dimulai di tempat kejadian, yaitu di sekitar candi. Siapa tahu kita akan
mendapatkan barang-barang bukti!" usul Rian.
"Saat ini hari telah
hampir senja. Apa tidak sebaiknya kita menyelidiki Pandi Celeng saja dahulu,
sebab dialah yang kali pertama pantas dicurigai!" usul Yatim.
"Ya, sebaiknya kita
menyelidiki Pandi dahulu, sedangkan penyelidikan ke candi kita laksanakan besok
saja!" kata Ari.
Usul Ari disetujui oleh
teman-temannya. Mereka pun selanjutnya pergi ke rumahnya Pandi Celeng dengan
melalui ladang ketela pohon. Tiada berapa lama kemudian mereka telah sampai di
belakang rumah Pandi.
"Set! Lihat itu!"
kata Ari kepada teman-temannya. Rian dan teman-temannya melihat seorang polisi
dan Pak Lurah ke luar dari rumah Pandi.
"Nampaknya polisi itu
menyelidiki Pandi. Nah, apa kataku. Polisi pun mencurigai Pandi Celeng!"
kata Nico.
Ari dan teman-temannya
mengendap-endap di samping rumah Pandi bagian timur. Dari dalam rumah mereka
mendengar suara tangis seorang wanita, ibunya Pandi.
“Kita ini orang miskin yang
serba susah. Tolonglah, Di keprihatinan hidup kita ini jangan kau tambah dengan
penderitaan lagi. Ibu bisa gak tahan hidup, Di!” kata ibu Pandi disela sedu
sedannya.
"Sumpah, Bu. Saya
tidak mengambil patung-patung itu. Untuk apa aku mengambilnya? Saya tahu bahwa
patung itu dihormati oleh masyarakat sini. Jelek-jelek begini aku masih
menghormati kepercayaan masyarakat sini, Bu!" kata Pandi.
"Tapi Pak Polisi dan
Pak Lurah tadi menanyaimu, Di," kata ibunya dengan suara tersendat-sendat.
"Sebenarnya mulai kemarin itu kau ke mana, Di?" tanya ibunya pula.
"Saya kerja di kota,
Bu. Kalau ibu tidak percaya silakan tanya kepada Pak Kimun atau kepada Kasmo.
Seharian penuh saya membantu Kasmo mengecat rumahnya Pak Anwar. Semua ini sudah
saya jelaskan kepada polisi dan Pak Lurah, Bu!" jawab Pandi.
Mendengar pembicaraan
antara Pandi dengan ibunya tersebut Yatim memberi tanda mengajak teman-temannya
pergi dari tempat tersebut.
"Nampaknya Pandi
kurang tepat untuk dicurigai!" kata Yatim.
“Ah, nanti dulu. Dasar
maling. Bak peribahasa, mana ada maling teriak maling!” kata Nico pelan.
"Saat patung itu
hilang ia bersama Kasmo sedang bekerja mengecat rumahnya Pak Anwar di kota.
Alasan itu cukup meyakinkan dan bertanggungjawab!" kata Rian. la
tambahkan, bahwa keterangan Pandi tersebut tentu saja oleh polisi akan dicocokkan
kebenarannya kepada Kasmo dan Pak Anwar di kota.
"Nah, kalau begitu
besok pagi kita mengadakan penyelidikan di sekitar candi seperti yang diusulkan
oleh Rian,” kata Ari. Ajakan Ari disetujui oleh teman-temannya. Saat itu langit di sebelah barat telah
nampak berwarna merah dengan semburat warna kuning, pertanda hari telah senja.
Ari dan Rian berpisah
dengan teman temannya. Kedua anak tersebut pulang ke rumahnya melalui jalan
setapak yang ada di pinggir desa. Keadaan di sepanjang jalan setapak itu
sangatlah sunyi dan agak menyeramkan. Ari mengajak Rian mempercepat langkahnya.
"Eh, itu tempat apa,
Ar?" tanya Rian ketika melihat sebuah bangunan kecil di bawah pohon
kesambi besar yang berada di pojok tikungan sungai.
"Oh, itu gubuk petani
milik Pak Beja pamannya Pandi Celeng!" jawab Ari.
"Besok pagi kita lewat
sini ya, Ar?" kata Rian.
“Bolehlah!" jawab Ari
singkat.
Perjalanan Ari dan Rian
sampailah di gardu desa. Di tempat tersebut mereka melihat Wiraguna yang lagi
ngobrol dengan Pak Kamin.
Ke esokan harinya, pada
pagi hari yang cerah. Rian dan Ari terlihat berjalan menelusuri jalan setapak
di pinggir desa, jalan yang mereka lalui kemarin sore. Dalam perjalanan
tersebut Rian memperhatikan keadaan jalan yang dilaluinya. Di suatu tempat Rian
melihat beberapa buah puntung rokok yang sama mereknya.
Ketika mereka sampai di
gubuk kecil milik Pak Beja. Rian mengajak Ari melihat-lihat ke dalam gubuk
tersebut. Di dalam gubuk itu ternyata terdapat tumpukan jerami. Secara iseng
tumpukan jerami itu disibaknya. Seketika itu pula Rian terkejut, karena di
bawah jerami tersebut ada patungnya.
"Ar lihat ini!"
kata Rian dengan suara agak bergetar.
"Oh, patung Sri
Sadana. Siapakah yang menyembunyikannya di sini?" kata Ari perlahan.
"Jangan
jangan..." Ari tidak melanjutkan katanya.
"Jangan jangan
siapa?" tanya Rian.
Ari membisikkan sesuatu ke
telinga Rian.
"Akh, pendapat kita
sama, namun jangan sembarangan menuduhnya. Kita harus mendapatkan barang-barang
yang dapat dijadikan bukti lain dahulu!" kata Rian. Selanjutnya ia mengajak
Ari untuk segera meninggalkan tempat ter-sebut. Mereka menuju ke Candi Loh.
Ketika sampai di Candi Loh mereka telah ditunggu oleh Yatim dan teman-temannya.
Rian dan Ari mengajak
Yatim, Nico, Ribut, Agung, dan Resti berkumpul di bawah pohon maja yang ada di
samping candi sebelah barat.
"Teman-teman,
pembicaraan kita ini jangan sampai didengar oleh orang lain, terlebih lagi
didengar oleh orang yang pantas kita curigai sebagai pen-curinya!" kata
Rian. Selanjutnya ia katakan, bahwa patung Sri Sadana telah mereka temukan.
"Patung itu
disembunyikan di gubuk miliknya Pak Beja!" kata Ari.
Keterangan Ari tersebut
mengejutkan Yatim dan teman-temannya. Sebagian dari mereka berprasangka Pak
Bejalah pencurinya.
"Kalau begitu
pencurinya adalah Pak Beja!" kata Nico. "Tak kusangka orang yang
kelihatannya baik budi itu ternyata ia musang berbulu domba!" tambahnya.
"Eit, jangan
sembarangan menuduh!" sela Yatim.
"Ada peribahasa
mengatakan tidak makan nangka tapi kena getahnya. Demikian pula dengan Pak
Beja. Walau gubuk itu milik Pak Beja, bukan berarti ia sebagai
pencurinya!" kata Yatim berdalih.
"Wah gimana, ya
sebaiknya?" ujar Nico.
"Sekarang apa yang
kita lakukan?" tanya Yatim kepada teman-temannya.
"Begini, diperjalanan
tadi saya menemukan beberapa puntung rokok!" kata Rian yang kemudian
memperlihatkan beberapa puntung rokok dimaksud kepada teman-temannya.
"Seingat saya rokok
ini harganya cukup mahal. Nah, pertanyaannya sekarang siapakah perokok rokok
merek ini. Apakah pak Beja merokok rokok ini?" sambung Rian bertanya.
"Sepengetahuan saya
Pak Beja tidak menghisap rokok merek itu. la menghisap rokok kelobot buatannya
sendiri!" jawab Ari.
"Yah, barangkali
puntung rokok ini tidak berkaitan dengan hilangnya pa-tung-patung itu!"
celetuk Resti.
“Dalam hal ini yang jelas-jelas
berkaitan dan pantas sebagai buktinya adalah patung-patung itu disembunyikan di
gubuk milik Pak Beja!" sambungnya. Rian,
Ari, dan Yatim termenung.
"Begini saja, sekarang
marilah kita mencari tanda-tanda lain di sekitar sini. Siapa tahu di sekitar
sini kita temukan adanya tanda-tanda yang dapat diguna-kan untuk mengungkap
peristiwa ini!" kata Rian.
"Tanda-tanda yang kau
maksud itu contohnya apa?" tanya Nico. .
" Contohnya puntung
rokok, sidik jari tangan atau kaki dan benda-benda lain yang kita perkirakan
milik si pencuri!" jawab Rian.
Nico, Budi, dan Resti
mengangguk-angguk. Mereka mulai mengerti terhadap maksud Rian. Selanjutnya Rian
membagi teman-temannya menjadi 5 bagian. Ari dan Resti ditugasinya mencari
tanda-tanda ke arah barat, Nico dan Ribut ke arah timur, Budi dan Agung ke arah
selatan, Sunu dan Rani ke arah utara. Sedangkan ia dan Yatim ke dalam candi.
Bagaikan para Polisi Rian dan teman-temannya mengadakan penyelidikan.
"Tim, lihat ini!"
kata Rian sambil menunjuk bekas tapak sepatu dan kaki yang terlihat
samar-samar.
"Tanda ini
menunjukkan, bahwa pencurinya ada dua orang. Seorang bersepatu dan yang seorang
lagi tidak bersepatu!" kata Yatim.
"Benar. Perhatikan
bekas tapak kaki ini. Kaki bagian kanan hanya memiliki 4 jari kaki!" kata
Rian. la kemudian mengeluarkan selembar kertas folio dan sepidol dari saku
bajunya. Selanjutnya bekas tapak sepatu dan bekas tapak kaki tersebut
digambarnya. Setelah menyelesaikan gambarnya Rian dan Yatim melanjutkan
penyelidikannya setapak demi setapak dengan cermat.
Namun ketika dirasakannya
sudah tidak ada lagi tanda-tanda lain yang dapat digunakan sebagai bukti untuk
mengungkap peristiwa pencurian patung Sri Sadana, maka Rian dan Yatim
meninggalkan ruangan candi. Di luar, yaitu di bawah pohon maja mereka telah
ditunggu oleh Ari dan teman-temannya.
"Gimana? Apakah kalian
ada yang menemukan tanda-tanda yang sekiranya berhubungan dengan peristiwa
pencurian ini?" tanya Rian.
"Saya dan Rani
menemukan beberapa puntung rokok yang mereknya sama dengan puntung rokok yang
kamu temukan!" jawab Sunu.
Ari dan Resti yang
mengadakan penyelidikan ke sebelah utara candi menemukan bekas tapak sepatu dan
kaki. Setelah mereka amati bersama-sama, temyata mirip dengan bekas tapak
sepatu dan kaki yang ada di lantai ruang candi. Sementara itu Nico dan Ribut
yang mengadakan penyelidikan ke sebelah timur candi mendapatkan bungkus rokok
dan beberapa puntung rokok yang mereknya sama pula.
"Akh, saya
ingat!" seru Nico tiba-tiba. "Tentunya kalian masih ingat bukan?
Siapa yang kemarin merokok di sini?" tanya Nico.
"Kak Wira!" jawab
Ari.
"Benar. Selain itu
warga sini siapa yang selalu bersepatu? Seingatku hanya dia!" tandas Nico.
"Teman-teman bagaimana kalau masalah ini kita bicarakan di rumahnya Ari
saja, sebab kalau dibicarakan di sini siapa tahu akan dicurigai oleh
pencurinya. Hal ini akan membahayakan kita!" kata Rian mengusulkan.
Usul Rian diterima oleh
teman-temannya, maka merekapun kemudian bergegas menuju ke rumahnya Ari.
Sesampainya di rumah Ari, masalah bukti-bukti yang mereka temukan tersebut
diberitahukannya kepada Pak Santosa. Hal itu membuat Pak Santosa tercengang dan
kagum.
Untuk mengungkap masalah
pencurian patung Sri Sadana tersebut Rian, Ari, dan teman-temannya sependapat.
Mereka berkesimpulan, bahwa seorang pencurinya adalah Wiraguna. Kepada Pak
Santosa Rian dan teman-temannya membeberkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk
membuktikannya. Bukti-bukti itu antara lain berupa bekas tapak sepatu, bungkus
rokok, puntung rokok, dan bekas tapak kaki kanan berjari empat. Rian kemudian
menggambar sebuah denah untuk memperjelas keterangannya.
"Bekas tapak sepatu
dan bekas tapak kaki yang sama bentuknya ini terdapat di lantai ruang candi,
halaman candi sebelah utara candi. Sedangkan bungkus rokok ini ditemukan di
halaman candi sebelah timur. Di tempat ini juga ada beberapa puntung rokok.
Sebagian puntung rokok ini diketemukan pula di sepanjang jalan setapak yang
menuju ke gubuk milik Pak Beja tempat patung Sri Sadana disembunyikan!"
kata Rian.
"Lalu bekas tapak kaki
berjari empat ini milik siapa?" tanya Nico.
"Akh, saya ingat. Kaki
itu kakinya Pak Kamin!" seru Resti dengan semangat.
"O, saya menyimpulkan,
tuduhan yang dilakukan oleh Kak Wira kepada Mas Pandi Celeng itu sebenarnya
sekedar rekayasanya agar orang menuduh
Pandi sebagai pencurinya!" kata Ari.
"Ukh, temyata ia licik
juga!" ujar Rani. .
"He, bukankah ia itu
masih saudara dekat dari orang tuamu'?" kata Agung bergurau.
"Benar. la masih ada
hubungan dengan keluargaku, namun kalau memang ia pencurinya ya, harus tetap di
penjara!" jawab Rani dengan tegas.
"Dahulunya Kak Wira
itu orang yang baik dan suka memberi nasihat. Eh, setelah bekerja di kota kok,
berubah. Kini ia menjadi seorang perokok yang rokoknya berharga mahal!"
celetuk Ribut.
"Rambutnya pun kini
gondrong. Ke mana-mana pun kini ia memakai sepatu. Uh, kampungan!" ujar
Rani sengit.
Setelah mendengarkan
keterangan dan pendapat dari Rian dan teman-temannya serta dengan adanya
bukti-bukti tersebut Pak Santosa tersenyum. la merasa kagum dengan kepintaran
Rian dan teman-temannya. Oleh karena itu Pak Santosa akan membantu mengatasi
masalah tersebut.
"Keterangan dan
bukti-bukti yang kalian temukan akan saya sampaikan kepada Pak Lurah!"
kata Pak Santosa.
"Mengapa tidak
dilaporkan ke Polisi saja, Pak?" tanya Ari. Pak Santosa tersenyum. la
kemudian menjelaskan, bahwa semua masalah dapat diselesaikan secara musyawarah
kekeluargaan. Perbuatan Wira dan Kamin sebaiknya diselesaikan dahulu pada
tingkat desa.
"Wira dan Kamin akan
kita panggil ke kelurahan. Mereka akan kita selidiki!" kata Pak Santosa.
Kepada Rian dan teman-temannya dijelaskannya, bahwa masalah pencurian yang
mereka lakukan akan diselesaikan secara adil.
"Wira dan Kamin adalah
warga desa kita. Apabila mereka tidak mengakui perbuatannya, kita dapat
menyerahkan persoalan itu kepada Polisi!" katanya pula.
Sehari kemudian Pak Santosa
memberi tahu kepada Rian, Ari, dan teman-temannya, bahwa Wiraguna dan Kamin
mengakui perbuatannya. Merekalah yang men curi patung Sri Sadana yang terdapat
di dalam Candi Loh.
"Patung itu rencananya
akan mereka jual kepada seseorang di kota dengan harga yang cukup mahal!"
kata Pak santosa.
"Patung itu kan hanya
terbuat dari bahan batu, tetapi mengapa mahal har-ganya?" tanya Sunu.
"Harga mahal dari
patung bukan ditentukan oleh bahannya, melainkan oleh sejarahnya!" jawab
Rian.
"Patung, candi, dan
benda-benda antik atau kuno lainnya memang berharga mahal, terlebih lagi
apabila benda-benda tersebut memiliki nilai sejarah!" kata Pak Santosa.
"Oleh karena itu benda-benda semacam itu dilindungi oleh pemerintah!”
tambahnya.
Berita telah diketemukannya
patung Sri Sadana menjadikan warga Desa Loh Jinawi tenang kembali. Pak Kromo
pun seketika sembuh dari sakitnya. Untuk mensykuri kembalinya kedua patung yang
mereka akui sebagai lambang Dewa dan Dewi Sandang Pangan tersebut warga desa
mengadakan selamatan.
Pada acara selamatan yang
dilaksanakan malam bulan purnama itu Ari, Yatim, Ribut, Nico, dan
teman-temannya mendapatkan hadiah dari Pak Lurah dan Pak Kromo. Orang tua
penjaga candi itu memberinya mereka sepasang wayang kulit Sri Sadana.
"Sayang Rian telah
pulang ke kota. la tak sempat menyaksikan acara ini" kata Nico.
"Saya usul, bagaimana
kalau wayang ini kita berikan kepadanya saja. Saya pikir dialah yang lebih
berhak menerimanya!" kata Yatim mengusulkan. Usul dari Yatim tersebut
disetujui oleh teman-temannya. Yatim pun tersenyum.
Malam bulan purnama adalah
malam yang indah. Yatim dan Sulih muncul di atas pentas dengan berdandan
petani. Mereka menarikan tentang keprihatinan petani yang gagal panen.
Tiba-tiba lampu panggung padam. Sesaat kemudian terdengarlah suara petir dan
hiasan sinar kilat yang membelah kegelapan panggung. Dari sudut panggung yang
remang-remang munculah bayangan beberapa orang yang sedang menari. Ketika lampu
terang kembali, nampaklah Rati berdandan Dewi Sri dan beberapa orang lainnya
yang berdandan petani.
Dengan gemulai Rati
menarikan sebuah tarian yang lembut dan agung, yaitu tari Dewi Sri Sebar.
Tarian itu menggambarkan Dewi Sri yang sedang menerangkan cara bertanam tanaman
padi kepada para petani yang mengelilinginya.
Tarian itu menggambarkan
tentang cara bertani yang baik, mulai cara mengolah tanah, pembenihan,
penanaman, perawatan, memanen, kegembiraan para petani terhadap hasil panen
padi yang melimpah, dan sembahyangan puji syukur para petani pada Hyang Agung.
Tamat @
Cinta Budaya Bagian dari Karakter Bangsa
Bacaan anak berunsurkan Tematik Integratif
Pengarang : Inoe Setyoko (Zaitun Nurah)
Tahun : 2013
Alamat Pengarang : Jl. Yos Sudarso No. 37 Desa Sidopekso, Kec. Kraksaan,
Kab. Probolinggo-Jawa Timur
Email : citranagari@gmail.com
___________________________
Kata Pengantar
Dalam buku yang berjudul "Misteri Candi Lohjinawi" ini berkisah tentang anak kota yang berlibur sekolah di suatu desa. Di desa tersebut ia mendapatkan beragam pengetahuan dan pengalaman seperti suatu pengetahuan tentang penyelenggaraan pendidikan di desa, suatu jenis keterampilan tertentu, dan suatu seni budaya. Hal itu merupakan identitas kehidupan desa di Indonesia pada umumnya. Keberagaman budaya yang demikian perlu dipahami sepenuhnya oleh para generasi bangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa akan bermanfaat bagi perkembangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia yang “Berbhineka Tunggal Ika.”
Penulis sadari, bahwa buku yang membahas tentang materi jenis pengetahuan dan keterampilan yang sama dalam buku ini telah cukup banyak, namun banyak di antara buku-buku tersebut dibahas secara keilmiahan yang belum tentu dapat dipahami secara mudah oleh anak-anak atau oleh orang-orang tertentu dalam kalangan yang terbatas pendidikannya.
Dengan dasar itulah, maka dengan rendah hati penulis menyusun buku ini. Materi dalam buku ini merupakan ramuan antara pengetahuan, keterampilan, dan seni budaya. Dengan sajian dalam bentuk berkisah, dengan bahasa yang sederhana, dan disertai dengan gambar-gambar sebagai ilustrasi diharapkan dapat menarik minat baca peserta didik.
Penulis: Inoe Setyoko
====================
KEPUSTAKAAN
1. Akbar,
Sy. 1983. Berwiraswasta Menanam Jamur Merang. Jakarta: Samudera.
2. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. 1991. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
3. Provost,
Gary. 1989. Seratus Cara untuk Peningkatan Penulisan Anda. Semarang: Dahara
Prize.
4. Siebert,
Fred.S/Theodore Peterson. 1986. Empat Teori Pers. Jakarta: Inter masa.
5.
Sri Sundari, Siti. 1982. Ingin
Jadi Wartawan. Jakarta: Balai Pustaka.
6. Nadeak,
Wilson. 1987. Cara-cara Bercerita. Bandung: Bina Cipta.
7. Norman
S, Abdul Kahar. 1982. Bertani Jamur dan Seni Memasaknya. Bandung: Angkasa.
8. Hendra
Dinama, RS. 2008. Pembinaan Jurnalistik Sekolah. Probolinggo. LP3M Citra Nagari
Komentar
Posting Komentar